Di kehidupan yang serba materialistis saat ini, seolah olah kaum miskin adalah penyakit. Banyak orang cenderung menghindar dari orang miskin dan berteman dengan orang orang kaya.
Kekayaan dianggap sebagai sumber kehormatan dan pangkat yang tinggi. Dengan harta, maka kini semua bisa dibeli. Keinginan, anak buah, organisasi, bahkan pasangan hidup bisa dibeli dengan uang.
Padahal kekayaan belum tentu menghasilkan kebahagiaan. Berapa banyak orang kaya yang rumah tangganya hancur, anak anaknya liar dan kehidupannya amburadul.
Kekayaan bisa menghasilkan kebahagiaan sekaligus juga kesengsaraan. Karena itu ketika kaum Yahudi bertanya kepada Sayidina Ali mana yang lebih berharga harta atau ilmu. Ali menjawab ilmu. Ilmu menjagamu harta kamu harus menjaganya. Ilmu warisan para Nabi harta warisan Qarun dan Fir’aun. Ilmu mencerahkan harta seringkali menggelapkan. Ilmu diberikan bertambah, harta diberikan berkurang. Yang jelas di tangan orang berilmu harta manfaat. Di tangan orang jahil harta mudharat.
Maka Rasulullah tidak pernah membedakan antara sahabat yang kaya dan miskin. Ada Abdurrahman bin Auf yang kaya. Ada Bilal yang miskin. Yang didorong Rasul bukan menjadi kaya atau miskin, tapi yang didorong Rasul mencari ilmu setinggi tingginya.
Penghormatan terhadap harta yang berlebihan menyebabkan masyarakat kita seperti menuhankan uang. Kalau gak ada uang gak mau jalan. Gak ada uang gak mau kerja.
Akhirnya hal ini menjadi makanan empuk bagi politisi atau mereka yang syahwat kekuasaan. Suara rakyat bukan suara Tuhan. Suara rakyat bisa dibeli. Suara rakyat bisa dimainkan. Ini nampak jelas pada pilpres 2024 yang lalu. Untuk pilkada, nampaknya tidak jauh beda dengan pilpres.
Mengubah mindset harus kaya ini memang tidak mudah. Harusnya mindset sebagai seorang muslim adalah harus berilmu. Cita cita tertingginya menjadi ulama bukan menjadi kaum berduit.
Orang yang berilmu dipuji Allah dan RasulNya. Tentu mereka yang berilmu dan mengamalkan ilmunya. Orang kaya yang berilmu juga dipuji. Tentu bagi mereka yang senang membagi kekayaannya bagi kaum miskin.
Ingatlah pesan Rasulullah Saw, “Sesungguhya Allah akan menolong umat ini dengan sebab orang orang yang lemah dari mereka, yaitu dengan doa, shalat dan keikhlasan mereka.” (Hadits An Nasai)
Jangan hindari orang miskin. Bertemanlah kepada orang kaya atau miskin.
Rasulullah dalam perjuangan dakwahnya banyak didukung orang orang yang lemah dan miskin (dhuafa). Bahkan Rasul pernah berdoa agar dimasukkan dalam golongan orang miskin.
Hidup memang pilihan. Boleh kaya atau miskin. Yang penting berilmu. Ilmu inilah yang menjaga kepribadian seorang Muslim baik di saat kaya atau miskin. Wallahu alimun hakim.[]
Nuim Hidayat, Penulis dan Aktivis Ormas Islam di Depok, Jabar.
Sumber Klik disini