Saat ini, DPR mencoba mau meberangus kebebasan pers. Mereka sedang membahas finalisasi RUU Penyiaran untuk merevisi UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002.
Dikatakan, RUU ini adalah inisiatif DPR. Tapi saya tidak percaya. Saya yakin upaya untuk membredel kebebasan pers datang dari Istana. Sebab, Presiden Jokowi dan keluarganya sangat memerlukan pembungkaman media. Karena selama ini media membuat Jokowi terganggu.
Kelihatannya Jokowi sangat paham bahwa media dalam format kebebasan pers seperti sekarang ini bisa mengancam Gibran Rakabuming Raka dalam posisi sebagai wakil presiden kelak. Mungkin dia tidak ingin Gibran babak belur dibikin media massa baik yang mainstream maupun online.
Pertanyaannya: mengapa DPR malah ingin merampas kebebasan pers? Memang sulit diterima akal bahwa wakil rakyat berniat membungkam alat kontrol rakyat. Tapi, bau busuk campur tangan Istana di balik RUU revisi UU Penyiaran itu sangat menyengat.
Apakah RUU ini bertujuan untuk mengekang media? Seratus persen iya. Sebab, berbagai sengketa pers dan laporan investigasi yang dipublikasikan selama ini sangat mengganggu para penguasa. Media dan wartawan tidak bisa dipersuksi dan diprosekusi seenaknya.
Yang pertama sengketa pers. Dalam hal ini, sengketa yang melibatkan para pejabat tinggi, termasuk Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, tidak berhasil memenuhi nafsu Pak Menteri untuk menaklukkan media. Ini sisi positif sengketa itu ditangani oleh Dewan Pers (DP). Dewan mampu mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan pers dalam berbagai gugatan.
Tak terbayangkan kalau gugatan itu ditangani oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) seperti yang diusulkan lewat RUU revisi UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 itu. Hancur kebebasan pers Indonesia. Kenapa? Karena KPI adalah lembaga yang diisi oleh orang-orang yang diseleksi oleh penguasa. Para komisionernya sangat mudah dikooptasi oleh pemegang kekuasaan.
Jika KPI diberi wewenang mengurusi sengketa pers, maka bakalan suramlah masa depan kebebasan pers. Dikhawatirkan, KPI bisa diminta oleh para penguasa untuk menjatuhkan vonis yang merugikan media dan wartawan. Kelak, akan mucul kembali praktik sensor mandiri (self-censorship) atau sensor eksternal. Para wartawan akan bertanya dulu kepada pihak-pihak yang akan disebut di dalam pemberitaan sebelum ditayangkan.
Lambat laun akan hidup kembali intervensi penguasa di news-room media. Para pejabat sipil dan militer, pengusaha, kelompok preman, dan lain sebagainya akan menelefon redaksi media agar tidak memberitakan kasus ini atau kasus itu.
Bencana kebebasan pers kalau RUU Penyiaran yang baru itu disahkan begitu saja. Dewan Pers tetap merupakan wadah yang terbaik untuk menyelesaikan sengketa pers. Ini sudah terbukti. Media atau wartawan tidak mudah dibungkam oleh orang-orang yang punya kekuasaan. Itulah sebabnya komunitas pers, semua organisasi kewartawanan, DP sendiri, dan masyarakat umum mendukung perlawanan terhadap RUU Penyiaran yang sangat “toxic” itu.
Yang kedua tentang laporan investigasi yang akan dilarang penayangannya. Ini juga merupakan misi utama RUU Penyiaran. Sangat berbahaya bagi kepentingan publik. Sebaliknya sangat menyenangkan bagi para perampok, koruptor, preman-preman Minerba, bandar judi, bandar narkoba, dan mafia di segala bidang.
Jurnalistik investigatif (investigative journalism) yang dirasakan sangat intrusif bagi banyak pemegang kekuasaan, juga ingin dibredel lewat RUU Penyiaran. Ini harus dilawan oleh seluruh komponen masyarakat. Tanpa laporan investigasi oleh media massa maka sirnalah tujuan untuk membongkar dan mencegah kasus-kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi.
Sumber Klik disini