Ibnu Umar yang saya maksud adalah Abdullah bin Umar, putra Umar bin Khathab. Siapa yang diandaikan diadukan ke Mahkamah Konstitusi (MK)? Ya ayahnya sendiri, yakni Umar yang sekaligus kepala negara atau Amirul Mukminin saat itu. ‘Presiden’ dalam istilah sekarang.
Apakah tepat pengandaian Ibnu Umar mengadukan Amirul Mukminin ke MK? Tentu saja tidak tepat. Sebab, dalam sistem pemerintahan Islam, jika rakyat ingin mengadukan kepala negara atau aparat negara lainnya terkait kebijakan, lembaga yang lebih tepat untuk menangani masalah itu adalah Mahkamah Mazalim. Demikian seperti ditulis Abdul Qadim Zallum dalam “Nizamul Hukmi fil Islam.”
Tapi, saya sengaja menyebut MK, yang saat ini putusannya masih hangat. MK yang memutuskan Airlangga Hartarto dan Zulkifli Hasan tidak melanggar kampanye Pilpres, padahal kedua menteri itu “cetho welo-welo” menyebut bansos negara yang dibagikan kepada rakyat sebagai “bansos Jokowi”.
MK pula yang telah melemahkan dalil penggugat bahwa Erick Thohir melanggar aturan pemilu dengan tidak cuti atau mengundurkan diri dari jabatan saat berkampanye untuk pasangan Prabowo-Gibran. Padahal rakyat tahu, dengan jabatan Menteri BUMN yang masih melekat lalu berkampanye untuk pasangan calon tertentu itu artinya ada penyelahgunaan fasilitas negara.
MK pula yang telah memutuskan tidak adanya cawe-cawe Presiden dalam Pilpres 2024. Padahal Presiden Jokowi sendiri yang terang-terangan mengatakan dirinya akan cawe-cawe.
Menurut MK, tidak ada bukti kuat bahwa pernyataan Presiden itu merupakan kehendak untuk ikut campur dalam penyelenggaraan Pilpres 2024 dengan menggunakan cara-cara di luar hukum dan di luar konstitusi.
Menurut MK juga, tidak ada korelasi antara bentuk cawe-cawe dengan potensi perolehan suara salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pilpres 2024.
Putusan-putusan MK ini, jika dikaitkan dengan kebijakan Amirul Mukminin Umar bin Khathab, semuanya bertentangan. Lho kok bisa?
Adalah Umar bin Khathab, salah satu pemimpin dalam sejarah peradaban Islam yang meninggiutamakan adab atau etika dalam pemerintahan. Ia tidak hanya berpaku pada hukum: boleh atau tidak boleh, halal atau haram saja dalam pengambilan keputusan. Tetapi lebih dari itu.
Coba perhatikan bagaimana pernyataan Umar kepada keluarganya. “Aku telah melarang rakyat untuk melakukan ini dan itu. Rakyat akan melihat tindak tanduk kalian sebagaimana seekor burung melihat sepotong daging. Bila kalian melanggar, maka mereka akan melanggar. Dan, bila kalian takut melakukannya, maka mereka juga akan takut melakukannya. Demi Allah, bila salah seorang di antara kalian diserahkan kepada saya karena ia melanggar apa yang sudah saya larang, maka saya akan melipatgandakan hukuman kepadanya, karena ia kerabat saya. Siapa di antara kalian yang ingin melanggar, silakan! Dan, siapa yang ingin mematuhinya, juga silakan.”
Umar melarang anggota keluarganya memanfaatkan fasilitas-fasilitas umum yang dikhususkan negara bagi sekelompok rakyat. Sebab Umar khawatir bila anggota keluarganya mengkhususkan fasilitas tersebut untuk mereka.
Umar juga tidak membiarkan putra-putrinya mendapatkan keistimewaan (privilege), memperoleh dan mengumpulkan harta dengan memanfaatkan kedudukan mereka sebagai putra seorang penguasa.
Sumber Klik disini