Puji dan syukur selalu kita panjatkan ke hadirat Allah SWT., Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad Saw, para keluarga, para sahabat dan para pengikutnya hingga hari Kiamat.
Al-Qur’an adalah kitab hidayah yang diturunkan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan (QS. Ibrahim [14]:1) melalui kitab suci Al-Qur’an manusia diharapkan dapat menemukan jalan keluar dan penyelesaian dari berbagai problem yang mereka hadapi (QS. Al-Baqarah [2]: 213).
Oleh sebab itu, Al-Qur’an perlu dipelajari dan dipahami (QS. Shaad [38]: 29) agar petunjuk-petunjuk Allah SWT bisa mengantarkan manusia kepada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Memahami Al-Qur’an tentu membutuhkan penjelasan dan penafsiran. Kebutuhan terhadap penjelasan ini mendesak, mengingat petunjuk Al-Qur’an datang dalam bentuk redaksi yang beragam. Ada ayat-ayat yang datang dengan redaksi yang jelas maknanya dan rinci, ada pula ayat yang samar dan global, ada ayat yang hukumnya bersifat mutlak tetapi ada juga yang bersifat muqayyad. Ada juga ayat yang sifatnya ‘aam dan ada juga yang khos.
Rasulullah Saw, sebagai penerima Al-Qur’an (QS. Al-Nahl [16]: 89) mengemban amanah untuk menyampaikan apa yang diterimanya kepada umatnya (QS. Al-Maidah [5]: 67) sebagaimana Rasulullah saw juga diperintahkan untuk menjelaskan kandungan Al-Qur’an kepada umat-Nya (QS. Al-Nahl [16]: 44).
Al-Qur’an menegaskan pentingnya melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Rasul dan meninggalkan apa yang dilarangnya sebagaimana firman Allah (QS. Al Hasyr [59]: 7). Karena posisi Rasul seperti tersebut di atas, maka ketaatan kepada Rasul menjadi syarat bagi ketaatan kepada Allah (QS. Al-Nisa’ [4]: 80).
Dengan demikian penjelasan Nabi Muhammad saw, terhadap Al-Qur’an tidak dapat dipisahkan dari pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an. Dari sini mutlak perlu untuk memperhatikan penjelasan Nabi saw, dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
Penjelasan atau penafsiran Nabi terhadap ayat-ayat Al-Qur’an didefinisikan oleh para ulama dengan hadis dan sunnah, yaitu yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw, baik berupa perbuatan, ucapan maupun ketetapan Nabi saw.
Layak diperhatikan, meskipun hadis merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an namun berbeda dengan Al-Qur’an yang kebenarannya sudah dapat dipastikan. Status kebenaran hadis yang direkam oleh ratusan kitab hadis masih perlu dikaji ulang, karena tidak semua hadis berkualitas ṣaḥih. Ada hadis yang berkualitas hasan dan daif. Bahkan banyak juga hadis yang palsu.
Salah satu kitab hadis yang menjadi objek penelitian kali ini adalah kitab hadis Durrah al-Naṣihin, karya ‘Uthman bin Hasan al-Khubawi (w. 1241 H/1824 M).
Pengarang kitab Durrah al-Nasihin (selanjutnya disebut D.N. saja) ialah ‘Uthman bin Has bin Ahmad al-Shakir al-Khubawi al-Rumi al-Hanafi. Ia hidup di zaman Dinasti ‘Uthmani pada akhir abad ke 12 Hijriyah dan awal abad ke 13 Hijriyah. Sayangnya, tidak banyak kitab biografi dan ensiklopedia yang membahas riwayatnya. Bahkan tidak ada satu kitabpun yang secara langsung menyebutkan tahun kelahirannya.
Kitab Dhurratun Al-Nashihin ini merupakan salah satu kitab yang sangat terkenal di dunia Islam karena telah diterbitkan di Turki, Mesir dan India. Kitab ini juga telah tersebar luas di Indonesia, serta menjadi rujukan utama di 23 pesantren/pondok. Kitab ini juga telah dicetak berpulang kali dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dalam 7 (tujuh) versi penerjemahan yang berbeda.
Sumber Klik disini