Kamu tahu kelomang? Itu loh, semacam keong tapi di laut. Kalau zaman kecil dulu kita suka beli di abang-abang dengan menyebutnya keong. Kita tiup-tiup saat dia sembunyi, berharap dia akan keluar setelahnya. Nama lainnya umang-umang atau kepiting pertapa.
Tahu gak kalau kelomang itu lahir tanpa cangkang? Perutnya yang lunak mengharuskan dia memiliki pelindung keras. Biasanya cangkang siput yang ukurannya sesuai akan digunakan. Jika kelomang tumbuh besar, ia akan melepas cangkang itu dan mencari yang lain. Sayangnya, kita bisa melihat dari banyak gambar di internet, kini kelomang bercangkang sampah. Mereka memakai tutup botol, gelas plastik, bola lampu sebagai cangkang mereka. Miris sekali. Di balik luas dan indahnya bumi Allah, masih ada makhluk yang harus beradaptasi dengan keserakahan manusia.
Ngomong-ngomong soal sampah, 21 Februari adalah peringatan HPSN, lho! “Kita me-launching Peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) Tahun 2024, sebagai usaha bersama untuk memperkuat posisi sektor pengelolaan sampah sebagai pendorong pertumbuhan perekonomian Indonesia, sebagai manifestasi prinsip pengelolaan sampah berkelanjutan yang memaduserasikan antara ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup,” ujar Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 (Dirjen PSLB3) KLHK, Rosa Vivien Ratnawati. (Info Publik, 9/2/24)
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengangkat tema “Atasi Sampah Plastik dengan Cara Produktif”. Apa sih maksudnya cara produktif? Apakah setiap rumah diminta merombeng botol plastik dan tutupnya? Apakah dasa wisma diminta mengumpulkan kiloan minyak goreng jelantah? Kemudian dikemanakan? Dijual, lalu dapat uang? Begitukah yang dimaksud keserasian ekonomi, sosial dan lingkungan?
Inilah watak negara kita hari ini. Penguasa hanya regulator, bukan pelayan masyarakat. Para pemimpin duduk di balik meja kerja dengan menata regulasi pengelolaan sampah. Ujung-ujungnya rakyat juga yang jadi subjek pengelola sampah, sekaligus jadi korban. Sebab jika ingin sampah rumah tangga diangkut, ada iuran tambahan yang harus “ikut”. Beginilah wajah asli sistem hidup bernama kapitalisme. Motivasi berkarya adalah keuntungan semata. Pemimpin tak mau ambil pusing. Rakyat didorong jual-jual rombeng. Untuk menambah pemasukan, katanya.
Padahal, jika pemimpin serius mengelola sampah, mereka akan mengerahkan segala daya upaya. Hal itu bisa berupa dana, lahan, ilmuan, kebijakan, alat, untuk apa pun yang terbaik dalam pengelolaan sampah. Mari kita bercermin bagaimana Islam sangat aplikatif dalam menyelesaikan masalah ini.
Pertama, sistem pendidikan dibangun negara berasaskan Islam. Rakyat ditanamkan tentang pentingnya menjaga kesehatan, lingkungan, dan hewan serta tumbuhan. Lahir sosok individu beriman yang paham tugasnya adalah khalifah fil ard, bukan perusak. Salah satunya adalah wawasan tentang pemisahan jenis sampah dan pengelolaan mandiri tingkat rumah tangga.
Kedua, negara mengontrol industri. Industri tidak diizinkan menggunakan kemasan plastik berlebihan. Rakyat diedukasi tentang alat-alat yang bisa dipakai ulang dibandingkan plastik yang sekali pakai lalu buang. Industri diarahkan untuk menyesuaikan kondisi ini dengan visi yang sama. Sebisa mungkin, industri minimal limbah pabrik.
Ketiga, negara mengontrol media dan iklan agar tidak memunculkan perasaan konsumerisme. Di sisi lain, rakyat juga ditanamkan sikap qanaah. Dari sini, rakyat akan selektif saat belanja. Membeli karena butuh, bukan ingin.
Keempat, negara hadir dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan masyarakat. Penguasa menyediakan lahan pengumpulan sampah. Para ahli dikumpulkan untuk mencari solusi teknologi terbaik pengelolaan sampah. Biaya bukan masalah, sebab para penguasa paham hakikat kekuasaan dalam Islam adalah mengurusi urusan umat.
Sumber Klik disini