BERDUSTA alias berbohong itu seluruhnya haram secara pasti berdasarkan nash Al-Qur’an yang pasti. Pengharaman dusta termasuk hukum-hukum yang dikenal dari agama secara pasti. Allah Ta’ala berfirman:
لَعْنَةُ اللهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ (ال عمران : ٦١)
“…laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (QS. Ali Imran [03] : 61)
Namun demikian, terdapat nash yang mengecualikan haramnya berdusta dalam beberapa hal yang telah ditentukan dan dibatasi, serta tidak boleh diselewengkan. Hal ini berdasarkan riwayat dari Rasulullah Saw.
Dr. Samih Athif Az-Zein dalam kitabnya, “Al-Islam: Khututun Aridhah; Al-Iqtishad, Al-Hukm wa Al-Ijtima’”, mengutip sebuah hadits, bahwa Rasulullah Sawbersabda, “Wahai sekalian manusia, apakah yang mendorongmu untuk terus-menerus berdusta seperti terus-menerusnya kupu-kupu masuk ke dalam api? Dusta itu seluruhnya haram bagi anak keturunan Adam, kecuali dalam tiga keadaan: suami yang berdusta kepada istrinya untuk menyenangkannya, lelaki yang berdusta dalam peperangan karena perang adalah tipuan; dan lelaki yang berdusta di antara dua orang Muslim untuk mendamaikan keduanya.”
Menurut Dr. Samih, tiga perkara inilah yang merupakan pengecualian dari keharaman berdusta berdasarkan nash yang sahih. Maka, tidak halal terjadinya kedustaan pada selain dari ketiganya itu; sebab tidak ada yang dikecualikan oleh keumuman nash selain dari yang dikhususkan oleh dalil.
Kata “perang” (harb) itu termuat di dalam hadits. Kata itu hanya mempunyai satu arti, yaitu keadaan perang secara nyata. Tidak diperbolehkan sama sekali untuk berdusta dalam keadaan yang bukan perang.
Adapun hadits sahih dari Nabi Saw yang menyatakan bahwa bila beliau bermaksud hendak mengatakan “perang” beliau menyembunyikannya dalam kata lain, maka yang dimaksud ialah beliau menginginkan satu hal, tetapi tidak menerangkannya dengan jelas. Misalnya, beliau hendak menyerang ke arah timur, tetapi beliau menanyakan keadaan di arah selatan dan beliau siap-siap untuk berangkat, sehingga orang yang melihat dan mendengar beliau mengira bahwa beliau menuju ke arah selatan. Tidak mungkin beliau menjelaskan maksud beliau ke selatan dan ke timur. Yang demikian itu tentu bukan hadits. Ini berbeda dengan kenyataan, sebab ucapan beliau itu adalah “tauriyah”, yaitu mengucapkan lafazh yang mempunyai dua arti: yang pertama arti dekat tetapi bukan yang dimaksud dan yang kedua arti yang jauh tetapi itulah yang dimaksud (Lihat: Jawahirul Balaghah, Ahmad Al-Hasyimi, halaman 375).
Apalagi beliau memasuki keadaan perang yang nyata, sebab beliau benar-benar pergi ke medan tempur untuk menghadapi musuh. Sedang perang itu termasuk tipuan yang terdapat dalam ucapan beliau: “Perang adalah tipuan”.
Adapun apa yang diriwayatkan oleh Jabir, bahwa Rasulullah Saw berkata: “Siapakah yang hendak membunuh Ka’b ibnul Asyraf, karena dia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya?” Muhammad bin Maslamah berkata, “Apakah engkau suka bila aku yang membunuhnya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Ya”. Kata Muhammad bin Maslamah, “Maka izinkanlah aku untuk mengatakan sesuatu. “Beliau menjawab: “Engkau boleh melakukannya”. Jabir berkata, maka Muhammad bin Maslamah pun datang kepada Ka’b. Kata Muhammad bin Maslamah, “Sesungguhnya Muhammad telah memperhatikan kita dan meminta persahabatan dengan kita, sedang kita tidak suka membiarkannya hingga kita melihat akhir dari urusannya. Muhammad bin Maslamah berbicara terus kepadanya, sehingga mengetahui kelengahannya, lalu membunuhnya.”
Maka, yang demikian juga terjadi dalam keadaan perang; dan meskipun lafazh hadits itu menunjukkan bahwa apa yang diucapkan Muhammad bin Maslamah adalah benar, bukan dusta, tetapi ucapan itu merupakan isyarat. Akan tetapi, Rasulullah Saw mengizinkan dia untuk mengatakan segala sesuatu, termasuk izin untuk berdusta secara terang-terangan dan terselubung, sebab dia dalam keadaan perang.
Hadits Anas tentang kisah Al-Hajjaj bin ‘llath yang meminta izin kepada Rasulullah Saw untuk mengatakan apa yang dia suka untuk menyelamatkan harta bendanya dari penduduk Makkah, dan dia diberi izin oleh Rasulullah Saw dan diberi izin pula untuk memberitahukan kepada penduduk Makkah, bahwa penduduk Khaibar telah menyerang kaum Muslimin; yang demikian itu juga dalam keadaan perang. Sebab, kebolehan untuk berdusta tidak hanya terbatas di medan perang dan bagi orang-orang yang berperang saja, tetapi diperbolehkan juga bagi kaum Muslimin untuk berdusta terhadap orang-orang kafir yang musuh mereka itu, bila mereka berada dalam keadaan perang dengan orang-orang kafir. []
Sumber: Dr. Samih Athif Az-Zein. Syariat Islam; Dalam Perbincangan Ekonomi, Politik dan Sosial sebagai Studi Perbandingan (terjemah). Bandung: Penerbit Hussaini, 1981.
Sumber Klik disini