Childfree Imbas Kapitalisme

Share

ISTILAH childfree, yakni sebuah pilihan dari pasangan menikah untuk tidak memiliki anak, belakangan menjadi perbincangan publik. Hal tersebut seiring dengan banyaknya fenomena tersebut di tengah masyarakat.

Perbincangan soal childfree mencuat berawal dari seorang influencer, Gita Savitri, yang gencar menyuarakannya. Menurutnya, salah satu resep awet muda dirinya adalah dengan tidak memiliki anak karena terbebas dari stress akibat teriakan anak-anak dan kelelahan mengurus anak.

Mirisnya, angka childfree di negeri ini kian tahun kian meningkat. Sebagaimana dilansir oleh cnnindonesia.com (13/11/2024) bahwa sebanyak sebanyak 71 ribu perempuan Indonesia berusia 15-49 tahun tidak ingin memiliki anak atau childfree. Temuan ini didapat dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 berjudul “Menelusuri Jejak Childfree di Indonesia”.

Prevalensi childfree juga ditemukan meningkat selama empat tahun terakhir. Data SUSENAS mencatat, prevalensi childfree pada tahun 2019 sebesar 7 persen. Angka tersebut sempat menurun pada tahun 2020 menjadi 6,3 persen.

Prevalensi childfree kemudian meningkat pada tahun 2021 menjadi 6,5 persen dan melonjak jadi 8,2 persen pada tahun 2022.

Ancaman Krisis Populasi

Ide childfree yang belakangan ini banyak diadopsi pasangan muda, sungguh wajib diwaspadai. Sebab sejatinya hal tersebut bukan semata pilihan pribadi, namun juga menyangkut nasib peradaban di masa depan.

Apalagi jika ide childfree ini lahir dari anggapan manusia yang bersifat emosional, seperti mengganggap bahwa anak adalah beban karena keberadaan seorang anak dalam sebuah keluarga akan menambah beban pengeluaran di keluarga tersebut.

Padahal pilihan untuk childfree akan menjadi ancaman adanya krisis populasi di sebuah negara. Sementara krisis populasi akan memengaruhi kualitas sebuah peradaban. Karena hakikatnya kualitas dipengaruhi pula oleh kuantitas. Rendahnya populasi manusia di sebuah negara akan memengaruhi perekonomian di dalamnya.

Sebagaimana diberitakan oleh CNBCIndonesia (04/08/2024), depopulasi mengancam beberapa negara dengan tingkat kelahiran rendah, seperti Jepang, China, dan Korsel. Sejak mencapai puncak populasi pada 2010, Jepang terus mengalami penyusutan. Populasi Jepang pada Oktober 2023 tercatat hanya sebesar 124,35 juta atau turun 3,71 juta dalam kurun waktu 13 tahun terakhir. Hal ini berdampak pada kebangkrutan perusahaan karena mereka tidak dapat memperoleh cukup tenaga kerja untuk mempertahankan operasi mereka.

Tak hanya itu, China juga terus mengalami penurunan jumlah kelahiran, sebagaimana yang dikutip dari South China Morning Post (SCMP), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dinyatakan bahwa kemungkinan 50% China bisa kehilangan lebih dari setengah populasi saat ini pada akhir abad ini.

Sumber Klik disini

Table of contents

Read more

Local News