Hidayatullah.com– Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina Wazed telah mengundurkan diri dan melarikan diri ke luar negeri setelah aksi protes mahasiswa yang berlangsung selama berpekan-pekan berubah menjadi kemarahan rakyat terhadap pemerintahannya.
Hari Senin (5/8/2024) politisi wanita berusia 76 tahun itu pergi menuju India dengan helikopter militer, sementara ribuan massa yang marah menyerbu kediaman resminya di ibu kota Dhaka.
Ini merupakan akhir yang tidak terbayangkan dari kekuasaan perdana menteri Bangladesh yang memerintah paling lama itu, yang menduduki kursi PM total selama lebih dari 20 tahun.
Dianggap berhasil memajukan perekonomian negara beberapa tahun terakhir, Hasina memulai karir politiknya sebagai ikon demokrasi.
Namun, beberapa tahun terakhir masa kekuasaannya, di justru dianggap semakin otoriter dan membungkam suara-suara yang berseberangan dengan kepentingannya.
Penangkapan bermotif politik, penghilangan paksa, pembunuhan di luar hukum dan berbagai macam pelanggaran lain bermunculan di masa pemerintahannya.
Pada bulan Januari dia memenangkan pemilu untuk jabatan PM periode ke empat – yang belum pernah terjadi sebelumnya di Bangladesh. Namun, pemilu itu dikecam oleh sebagian pihak terutama oposisi, yang memboikotnya karena dianggap penuh dengan penipuan dan pemalsuan.
Dilahirkan dari keluarga Muslim di Bengal Timur pada 1947. Hasina memiliki darah politik dari orangtuanya. Ayahnya merupakan aktivis nasionalis Bengal Sheikh Mujibur Rahman dan ibunya Begum Fazilatunnesa Mujib. Dia memiliki garis keturunan Arab Iraq melalui kedua orangtuanya. Klan keluarganya merupakan keturunan langsung pendakwah Islam Sheikh Abdul Awal Darwish al-Baghdadi, yang tiba di Bengal pada era Mughal yang terakhir. Sheikh Mujibur Rahman dikenal sebagai “Bapak Bangsa” Bangladesh yang memimpin negara itu melepaskan diri dari Pakistan dan menjadi negara independen pada 1971 dan menjadi presiden pertama Bangladesh.
Kala itu Hasina sudah memiliki reputasi sebagai seorang tokoh mahasiswa di Universitas Dhaka.
Ayah Hasina dibunuh, berikut ibu dan ketiga saudara lelakinya dalam kudeta militer pada Agustus 1975. Hasina – anak tertua Sheikh Mujibur Rahman – dan suaminya Wazed, serta adik perempuan satu-satunya Sheikh Rehana, beruntung sedang berkunjung ke Eropa ketika pembantaian itu terjadi. Mereka kemudian mencari perlindungan di Kedutaan Besar Bangladesh di Jerman Barat.
Setelah hidup dalam pengasingan di India, Hasina kembali ke Bangladesh pada 1981 dan menjadi pemimpin partai politik yang dulu menaungi ayahnya, Liga Awami.
Dia rajin mengikuti aksi-aksi pro-demokrasi bersama anggota dari partai-partai politik lain semasa pemerintahan otoriter militer pimpinan Jenderal Hussain Muhammed Ershad. Nama Hasina melambung menjadi ikon demokrasi Bangladesh bersama dengan maraknya aksi demonstrasi rakyat.
Sheikh Hasina pertama kali naik ke podium kekuasaan pada 1996. Dia dianggap berjasa telah mencapai kesepakatan pembagian air dengan India dan membuat perjanjian damai dengan kelompok-kelompok suku pemberontak di bagian tenggara Bangladesh.
Namun, pada saat yang sama, pemerintahannya dikritik karena diliputi banyak skandal korupsi, kolusi dan nepotisme, dan karena tunduk kepada India.
Dia kemudian pecah kongsi dengan sekutu politiknya Begum Khaleda Zia dari Partai Nasionalis Bangladesh (BNP) pada 2001.
Sebagai pewaris dinasti politik, kedua wanita itu mendominasi politik Bangladesh selama lebih dari tiga puluh tahun, dan keduanya dijuluki sebagai “battling begums“. Begum merupakan gelar kehormatan bagi wanita dari kalangan terpandang, biasa dipakai oleh kalangan Muslim di kawasan Asia Tengah dan Asia Selatan.
Para pengamat mengatakan, perseteruan politik kedua wanita itu menjadikan kasus-kasus bus meledak akibat bom, penghilangan paksa dan pembunuhan di luar hukum kerap terjadi di Bangladesh.
Hasina kemudian kembali ke kekuasaan pada 2009, lewat pemilu yang digelar oleh pemerintahan sementara kala itu.
Hasina berkali-kali luput dari percobaan pembunuhan, termasuk salah satunya yang terjadi pada tahun 2004 yang membuat telinganya tidak dapat mendengar dengan baik. Dia juga berkali-kali lolos dari tuduhan korupsi.
Hasina sejak lama dituduh bersikap otoriter dan represif terhadap lawan-lawan politik, para pengkritik dan media – perubahan yang luar biasa bagi seorang pemimpin yang dulu pernah memperjuangkan demokrasi multipartai.
Kelompok-kelompok HAM memperkirakan setidaknya ada 600 kasus penghilangan paksa, dan ratusan lainnya menjadi sasaran pembunuhan di luar hukum, sejak Hasina kembali menjabat perdana menteri pada tahun 2009.
Hasina dan pemerintahannya juga dituduh sengaja mempidanakan orang-orang seperti ekonom dan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Muhammad Yunus. Ahli ekonomi yang memperjuangkan kesejahteraan rakyat miskin itu dipenjara awal tahun ini dan menghadapi lebih dari 100 dakwaan, dalam kasus-kasus yang menurut para pendukungnya bermotif politik.
Menjelang pemilihan umum tahun ini, yang kemudian secara “tidak mengejutkan “ dimenangkan Hasina dan partainya, banyak pemimpin senior parati oposisi BNP ditangkap, bersama dengan ribuan pendukungnya menyusul protes anti-pemerintah.
Pemerintahan Hasina senantiasa menolak kedatangan jurnalis asing yang berusaha mencari tahu berbagai dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di Bangladesh.
Wanita putri dari pejuang kemerdekaan dan ikon demokrasi Bangladesh itu sekarang terpaksa mengakhiri masa pemerintahannya karena diusir rakyat, yang muak dengan kesewenang-wenangannya.*
Sumber Klik disini