Hidayatullah.com—Pengamat Ekonomi dan Energi UGM Dr. Fahmy Radhi, M.B.A meminta pemerintah membatalkan ekspor pasir laut. Ia berpendapat pengerukan pasir laut bagaimanapun memicu dampak buruk terhadap kerusakan lingkungan dan ekologi laut.
Bahkan hal itu bisa memicu tenggelamnya pulau yang tentunya akan membahayakan bagi rakyat di pesisir pantai.
Dengan kebijakan tersebut bisa meminggirkan nelayan karena tidak dapat melaut lagi. Kalaupun kebijakan ekspor pasir laut dimaksudkan untuk menambah pendapatan negara, hal tersebut, dinilainya tidak tepat.
“Kementerian Keuangan mengaku selama ini penerimaan negara kecil dari hasil ekspor laut, termasuk pasir laut. Sedangkan biaya yang harus dikeluarkan untuk ekspor pasir laut jauh lebih besar,” terangnya.
Menurutnya, kebijakan ekspor pasir laut yang tidak seimbang dengan pendapatan yang diperoleh, disebutnya, tidak layak untuk diteruskan. Perlu untuk diperhitungkan kerugian biaya kerugian akibat kerusakan lingkungan dan ekologi yang ditimbulkan.
“Belum lagi persoalan dan potensi ancaman akan tenggelamnya sejumlah pulau yang merugikan rakyat di sekitar pesisir laut, termasuk nelayan yang tidak lagi dapat melaut,” jelasnya.
Fahmy menuturkan satu-satunya negara yang akan membeli pasir laut Indonesia adalah Singapura untuk reklamasi memperluas daratannya. Menurutnya, sangat ironis jika akibat pengerukan pasir laut menjadikan tenggelamnya sejumlah pulau dan mengerutkan daratan wilayah Indonesia.
Sedangkan wilayah daratan Singapura akan semakin meluas sebagai hasil reklamasi yang ditimbun dari pasir laut Indonesia. “Kalau ini terjadi, tidak bisa dihindari akan mempengaruhi batas wilayah perairan antara Indonesia dan Singapura”, ucapnya.
Untuk itu, Fahmy Radhi mendesak agar pemerintah segera menghentikan ekspor sedimen laut. Meski Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan bahwa Indonesia tidak akan menjual negara dengan mengekspor pasir laut. “Tapi faktanya ekspor pasir laut sebenarnya menjual tanah-air, yang secara normatif merepresentasikan negara. Untuk itu hentikan kebijakan ini,” pungkasnya.
Diketahui, kurang dari dua bulan sebelum mengakhiri jabatan, Presiden Joko Widodo kembali mengeluarkan kebijakan kontroversial yang cenderung merugikan rakyat.
Kebijakan tersebut terkait izin ekspor pasir laut melalui Peraturan Pemerintah (PP) nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Kebijakan tersebut sangat bertolak belakang dengan kebijakan Pemerintahan Presiden Megawati sebelumnya yaitu kebijakan melarang ekspor pasir laut sejak 2003 melalui Surat Keputusan (SK) Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.
“Meski Presiden Jokowi berdalih dan mengatakan jika yang diekspor bukanlah pasir laut melainkan hasil sedimen laut, yang bentuknya sama berupa campuran tanah dan air”, ujar Dr. Fahmy Radhi, M.B.A., di Kampus UGM belum lama ini.
Sebelumnya, Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PKS, Amin Ak, mengatakan hasil kajian yang ada, baik laporan dari berbagai kekuatan civil society maupun hasil pemantauan komisi-komisi terkait di DPR menunjukkan masih lemahnya teknologi, sistem, dan pengawasan di laut.
Menurut Amin, aktivitas penambangan hasil sedimentasi laut maupun ekspor pasir laut dalam praktiknya lebih banyak mudarat atau kerugiannya ketimbang keuntungan yang didapat.
“Siapa yang bisa menjamin bahwa pasir yang dikeruk adalah hasil sedimentasi, bukan pasir laut? Pemerintah gembar-gembor soal teknologi pengawasan yang canggih, faktanya untuk mengawasi aktivitas perikanan terukur dan illegal fishing saja kita belum siap,” tegas Amin.*
Sumber Klik disini