![](https://muslimnews.id/wp-content/uploads/2023/10/sifat-pemimpin-amanah.jpg)
Memilih pemimpin bukan hanya masalah politik, maka setiap Muslim memiliki tanggung jawab memilih pemimpin yang baik dan adil
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Oleh: Bahrul Ulum
Hidayatullah.com | ISLAM sangat memperhatikan masalah kepemimpinan, karena ia merupakan suatu panggilan yang sangat mulia. Menurut Imam al-Ghazali, memperjuangkan kebaikan ajaran agama dan mempunyai kekuasaan politik (penguasa) adalah saudara kembar.
Agama adalah dasar perjuangan, sedangkan penguasa kekuasaan politik adalah pengawal perjuangan. Sedang perjuangan yang tak didasari (prinsip) agama akan runtuh, dan perjuangan agama yang tak dikawal kekuasaan akan sia-sia.” (Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jilid II, hal. 913).
Karena itu tidak ada yang namanya pemisahan antara agama dan politik, karena politik bagian dari risalah Islam yang sempuran (Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Tarbiyah Politik Hasan Al-banna: Referensi Gerakan Dakwah di Kancah politik, Jakarta : Arah Press, 2007).
Tentu yang memperjuangkan agama adalah mereka yang memahami agamanya dengan baik. Kekuasaan bukan sekedar untuk mendapatkan kekuasaan dunia, tetapi kekuasaan tersebut dipakai untuk memperjuangkan agama.
Karena itu memilih pemimpin yang baik merupakan kewajiban yang tidak bisa dianggap sederhana.
Kreteria pemimpin yang baik menurut Islam di antaranya, shidiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), dan fathonah (cerdas). Kejujuran adalah hal utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.
Karena jika seorang pemimpin pernah ketahuan berbohong, maka pengikutnya akan menunjukkan mosi tidak percaya. Perpecahan dan pertempuran internal akan menjadi senjata yang dapat menghancurkan kelompok itu sendiri.
Amanah juga menjadi syarat mutlak bagi calon pemimpin. Dalam pengertian pemimpin haruslah seorang yang bertanggungjawab.
Jika ia sudah dipercaya untuk mengemban suatu amanah maka harus dijalankan dengan maksimal hingga selesai. Hal ini penting agar dapat dipertanggung jawabkan kepada Allah SWT dan yang memberikan amanah.
Yang tak kalah penting yaitu seorang pemimpin hendaknya adalah orang yang cerdas. Hal ini penting karena ia akan memimpin banyak orang. Sehingga jika ia mengalami suatu masalah, maka dengan kecerdasannya dapat segera mencari jalan keluar.
Setelah memiliki ketiga kreteria tersebut, seorang pemimpin juga harus memiliki wawasan yang luas. Nabi ﷺ lebih memilih Khālid bin Wālid dan ‘Amr bin Ash mengisi jabatan pimpinan daripada Abu Hurairah.
Padahal Khalid dan ‘Amru baru masuk Islam dibanding Abu Hurairah. Rasulullah memilih Khalid dan ‘Amr karena keduanya dianggap cakap memimpin dan mampu menjaga amanah serta memiliki wawasan yang luas.
Sebaliknya, Abu Hurairah yang sangat kuat hafalan haditsnya dan banyak mendampingi Rasulullah ﷺ tidak diberi jabatan apa-apa karena tidak memiliki kreteria tersebut (Al Mawardi, al–Ahkam al–Sulṭhaniyah, hal. 18).
Penetapan Rasulullah ﷺ tersebut menunjukkan bahwa memilih pemimpin bukan hal yang sederhana. Pemimpin selain memiliki kompetensi pokok dalam hal agama juga harus memiliki pemahaman terhadap wilayah yang dipimpinnya.
Kemudian, kecakapan tersebut juga terintegrasi dalam mengaplikasikan syariat yang sangat dibutuhkan oleh umat manusia, seperti keharusan menghindari perbuatan yang merusak dan amoral semisal minum khamr dan zina (prostitusi), (QS: Al-Maidah, 90-93; Ali-Imran, 219; Al-Isra’, 32; Al-Nur, 2).
Selain itu seorang pemimpin harus memiliki kasih sayang yang tinggi. Pribadi seperti ini ditunjukkan oleh Rasulullah ﷺ dan para sahabat mulia. Misalnya, Karen Arsmtrong mengakui bahwa Umar bin Khatab mengekspresikan sikap ideal kasih sayang dibandingkan dengan semua penakluk Jerusalem lainnya.
Umar ketika memimpin penaklukan Yerussalem terjadi sangat damai dan tanpa tetesan darah. Ketika kaum Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan di sana, tidak ada penghancuran properti, tidak ada pembakaran symbol-simbol agama lain, tidak ada pengusiran atau pengambilalihan, dan tidak ada usaha untuk memaksa penduduk Jerusalem memeluk Islam (Karen Arsmtrong, A History of Jerusalem: One City, Three Faiths, hal. 228).
Demikian juga Thomas W. Arnold mengakui keagungan dan kelembutan Abu Ubaidah Ibnu Jarrah. Ketika Abu Ubaidah membebaskan Yordania dan mendapat perlawanan dari bangsa Romawi, masyarakat setempat mendukung Abu Ubaidah.
Para pemimpin kaum Kristen meminta umat muslim membebaskan mereka dari kekuasaan Romawi. Mereka berkata, “Kalian wahai kaum muslimin lebih kami cintai dari pada Romawi meskipun agama mereka sama dengan kami. Kalian lebih bisa memenuhi janji, lebih ramah, lebih bisa menahan tangan dari berbuat dzalim, dan lebih baik dalam hal melindungi kami, tetapi mereka (Romawi) selalu memaksa kami” (Thomas W. Arnold, The Preaching of Islam, hal. 48).
Dari penjelasan di atas, maka setiap Muslim memiliki tanggung jawab moral dan etika untuk memilih pemimpin yang baik dan adil. Memilih pemimpin seperti itu bukan hanya masalah politik, tetapi juga menjadi bagian integral dari tanggung jawab moral dan etika setiap Muslim.
Sebaliknya, Nabi Muhammad ﷺ mengancam kelompok yang mendukung pemimpin yang dzalim. “Dari Ka’ab bin ‘Ujrah (diriwayatkan) ia berkata: Rasulullah ﷺ menghampiri kami, kami berjumlah sembilan, lima, dan empat. Salah satu bilangan (kelompok) dari Arab sementara yang lain dari ‘Ajam. Beliau bersabda: Dengarkan, apa kalian telah mendengar bahwa sepeninggalku nanti akan ada pemimpin-pemimpin, barangsiapa yang memasuki (berpihak kepada) mereka lalu membenarkan kedustaan mereka serta menolong kedzaliman mereka, ia tidak termasuk golonganku dan tidak akan mendatangi telagaku.” (Riwayat Tirmidzi, Baihaqi, Hakim).
Rasul tidak menganggap orang yang memilih dan mendukung pemimpin yang pendusta dan dzalim sebagai golongannya. Karenanya, beliau mengingatkan umatnya agar tidak mendukung pemimpin seperti itu karena resiko di akhirat sangat besar.*
Penulis adalah dosen dan Sekretaris Bidang Pemikiran Islam Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jawa Timur
Sumber Klik disini