Merenungkan Perjanjian Manusia dengan Allah 

Share

Semua potensi yang diberikan Allah sejatinya adalah ujian kesetiaan pada perjanjian, untuk menyembah Allah dalam menjalankan kewajiban

Oleh: Yanuardi Syukur

Hidayatullah.com | SETIAP MANUSIA yang lahir ke dunia telah berjanji dengan Tuhan pemilik alam, Allah Subhanahu Wata’ala. Dalam Islam, misi hidup manusia adalah untuk beribadah sebagaimana firman Allah:

قُلْ اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ ۝١٦٢

“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am: 162).  

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS: Adz-Dzariyat: 56).

Dalam ayat lainnya, Allah berfirman,

Dari dua ayat tersebut jelas bahwa kehadiran manusia adalah untuk beribadah. Semua aspek kehidupannya dijalankan dengan spirit ibadah.

Syed M. Naquib Al Attas dalam preface “Islam The Covenants Fulfilled” (Ta’dib International, 2023) terinspirasi menulis buku tersebut dari dua perjanjian primordial manusia dengan Tuhan, yakni perjanjian Bani Adam dan keturunannya dengan Allah yang mengakui Ketuhanan-Nya atas mereka dan perjanjian para Nabi, yaitu Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa dengan Tuhan.

Para Nabi tersebut diminta untuk mengakui kedatangan Rasul setelah mereka yang akan meneguhkan apapun yang ada pada mereka tentang Kitab Suci dan hikmah yang diberikan Tuhan kepada mereka, dan untuk mengimaninya dan memberinya dukungan.

Rasul yang datang setelah mereka, yakni Nabi Muhammad mengonfirmasi apa yang ada pada para Nabi dengan menggabungkan mereka dengan apa yang ada padanya, Al-Quran, ke dalam agama universal, yaitu Islam.

Sebagai keturunan Nabi Adam, kita diciptakan sebagai makhluk hidup yang berbicara (al-hayawan an-natiqah). Sejak di alam rahim, kita telah berbicara. Allah berfirman;

وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْۚ اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَاۛ اَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَۙ

“(Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari tulang punggung anak cucu Adam, keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksiannya terhadap diri mereka sendiri (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami melakukannya) agar pada hari Kiamat kamu (tidak) mengatakan, “Sesungguhnya kami lengah terhadap hal ini.” (QS: Al-A’raf: 172)

Sebagai makhluk manusia, kita diciptakan berbeda dengan makhluk lainnya dalam kategori Homo. Teori evolusi mendasarkan pada ‘perubahan bertahap’ makhluk manusia dari makhluk sederhana hingga menjadi makhluk yang kompleks.

Merujuk pada Al-Quran, manusia tidak diciptakan dalam konsep evolusi, akan tetapi diciptakan sesuai tahapan dalam waktu yang tidak lama, yakni 9 bulan di rahim ibu.

Manusia lahir sebagai ciptaan yang istimewa dan baru. Allah berfirman;

وَلَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ مِن سُلَٰلَةٍ مِّن طِينٍ

ثُمَّ جَعَلْنَٰهُ نُطْفَةً فِى قَرَارٍ مَّكِينٍ

ثُمَّ خَلَقْنَا ٱلنُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا ٱلْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا ٱلْمُضْغَةَ عِظَٰمًا فَكَسَوْنَا ٱلْعِظَٰمَ لَحْمًا ثُمَّ أَنشَأْنَٰهُ خَلْقًا ءَاخَرَ ۚ فَتَبَارَكَ ٱللَّهُ أَحْسَنُ ٱلْخَٰلِقِينَ

“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari sari pati (yang berasal) dari tanah. Kemudian, Kami menjadikannya air mani di dalam tempat yang kukuh (rahim). Kemudian, air mani itu Kami jadikan sesuatu yang menggantung (darah). Lalu, sesuatu yang menggantung itu Kami jadikan segumpal daging. Lalu, segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang. Lalu, tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian, Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Mahasuci Allah sebaik-baik pencipta.” (QS: Al-Mu’minun: 12-14)

Menurut Al Attas, manusia adalah entitas ketiga, yakni bukan hanya jiwa, bukan hanya raga, dan bukan gabungan jiwa-raga. Manusia adalah entitas ketiga yang terbentuk dari keduanya.

“Manusia bukanlah gabungan tersebut, melainkan suatu entitas ketiga, suatu penggabungan karakter-karakter penting dari keduanya menjadi suatu yang baru.” Dan, “manusia adalah manusia, dia adalah dirinya sendiri, yang keberadaannya ditunjukkan ketika dia mengucapkan ‘Saya’ dan yang identitasnya adalah jiwa yang mengartikulasikan, jiwa dan realitas manusia yang mendefinisikan dirinya, kata Al Attas.

Karena manusia telah berjanji dengan Tuhan, yang tidak kita ingat lagi, maka Allah mengingatkan itu dalam Al-Quran agar ruh manusia tidak membuat alasan pada hari kiamat karena tidak menyadari kewajiban-kewajibannya atas perjanjian tersebut. Ketika kita terlahir ke dunia, maka kesetiaan kita terhadap perjanjian tersebut akan diuji; apakah benar-benar setia atau tidak.

Di dunia, jiwa kita menyatu dalam tubuh yang di dalamnya terkandung dunia indra. Dalam dunia ini, jiwa kita diberikan sarana untuk mengenal Tuhan melalui ciptaan-Nya.

Semua potensi yang Tuhan berikan tersebut sejatinya adalah ujian kesetiaan pada perjanjian. Apakah kita dapat setia terhadap perjanjian untuk menyembah Allah dan menjalankan kewajiban-kewajiban atau tidak.

Semua potensi kita, baik itu jiwa dan raga haruslah dimanfaatkan untuk berbagai hal manfaat dan menggunakannya dengan kebijaksanaan dan keadilan. Untuk itu, manusia diberikan petunjuk melalui utusan-utusan-Nya agar memanfaatkan kehidupannya untuk ibadah, sebagaimana yang dijelaskan dalam dua ayat di atas.*

Sumber Klik disini

Table of contents

Read more

Local News