Hidayatullah.com—Perundungan siber (cyberbullying) telah mendapatkan perhatian pemerintah Malaysia dalam beberapa bulan terakhir setelah kematian tragis seorang influencer media sosial yang ditindas di platform tempat ia mengunggah konten online.
Selama tiga tahun terakhir, terdapat 9.483 laporan cyberbullying, sedikit lebih tinggi dari 9.321 laporan terkait penipuan online, menurut statistik terbaru yang dirilis oleh Komisi Komunikasi dan Multimedia Malaysia.
Menurut laporan global The Economist Intelligence Unit, pada tahun 2021, 85 persen perempuan akan mengalami kekerasan online. Bentuk kekerasan yang paling umum mencakup ujaran kebencian, pelecehan, doxxing, ancaman kekerasan, dan distribusi gambar yang tidak diinginkan atau konten seksual eksplisit.
Meskipun Malaysia kekurangan data spesifik gender, organisasi non-pemerintah (LSM) memperkirakan bahwa jumlah kejahatan dunia maya terhadap perempuan di negara tersebut juga sama pentingnya dan terus meningkat.
Undang-undang yang ada di Malaysia tidak mendefinisikan cyberbullying atau intimidasi, kata Firzana Redzuan, pendirii Monsters Among Us – sebuah LSM yang bertujuan untuk memerangi kekerasan terhadap anak-anak.
“Di dalam “Maksud saya, tidak ada perlindungan – tidak ada cara untuk mencegah (kejahatan) dan kita tidak bisa memikirkan mekanisme untuk memberikan dukungan kepada mereka yang menjadi korban perundungan dan perundungan maya,” katanya.
RUU ini merupakan salah satu dari beberapa langkah yang diambil oleh pemerintah Malaysia untuk mencoba menjadikan ruang di platform media sosial lebih aman menyusul kasus tewasnya Rajeswary.
Pada bulan Agustus, para pejabat mengumumkan bahwa media sosial dan platform perpesanan dengan setidaknya 8 juta pengguna lokal harus mengajukan izin dari pemerintah. Aturan tersebut akan dimulai tahun depan.
Persyaratan tersebut merupakan bagian dari kerangka peraturan baru untuk memastikan ekosistem online yang lebih aman. Kode etik untuk platform ini juga sedang dirancang.
Selain hukum, para ahli mengatakan menjadikan internet sebagai tempat yang lebih aman dimulai dari rumah.
Orang tua harus membimbing anak-anak mereka tentang cara menggunakan ruang online, bukan membatasi penggunaannya, kata Cik Firzana.
“Kami selalu mengajari anak-anak kami, bagaimana cara menyeberang jalan. Tapi ketika (mereka) membuka Instagram, Anda berasumsi anak itu langsung tahu,” katanya dikutip Channel News Asia.
“Membangun ketahanan dalam kehidupan nyata sama dengan kehidupan Anda di platform online,” tambah dia.*
Sumber Klik disini