Konsepsi Ilmu Islam vs Barat

Share

Sumber ilmu adalah Allah, dan objeknya adalah ciptaan-Nya, sehingga ilmu tidak akan pernah bertentangan dengan agama

Oleh: Ali Mustofa Akbar

Hidayatullah.com | PROMOTHEUS “Sang Dewa Api” pada abad kuno dalam mitologi Yunani menjadi salah satu sumber pemikiran peradaban Barat, khususnya dalam mitos.

Mitos ini menceritakan bahwa para dewa dan raja tidak menginginkan manusia memiliki ilmu dan pengetahuan agar mereka tidak menjadi ancaman.

Ketika Prometheus berhasil mengelabui kehendak para dewa dan raja dengan memberikan ilmu, bakat, serta mencuri api suci untuk manusia, ia dihukum dengan datangnya bencana dan “kotak Pandora”.

Akibatnya, manusia dihantam oleh kemunafikan, penyakit, kemiskinan, dan kelaparan agar tidak menikmati hasil ilmu yang mereka peroleh. 

Dengan demikian, ilmu dalam mitos Yunani dianggap sebagai sesuatu yang direbut dari kekuasaan para dewa, sehingga semakin banyak manusia memperoleh ilmu, semakin berkurang pula kekuasaan dewa dan semakin bertambah kekuasaan manusia.

Ilmu di abad pertengahan

Pada Abad Pertengahan, gereja memiliki monopoli atas pengetahuan suci. Konflik bermula antara gereja dengan warisan filsafat pagan Yunani sebelumnya.

Sekolah Athena ditutup, dan filsafat Yunani di Alexandria ditekan. Gereja berpendapat bahwa satu-satunya jalan menuju penyucian jiwa adalah melalui jalan mereka menuju Tuhan, sebagaimana dalam kitab mereka yang dianggap suci namun telah dipalsukan.

Mereka menganggap sesat upaya mencari kebenaran di luar kitab suci atau berpikir mendalam dalam urusan duniawi. Bahkan Paulus berkata, “Bukankah Tuhan menyebut pengetahuan duniawi itu kebodohan?”  (Syamsu Al-A’rab, 369)

Kemudian konflik berkembang menjadi pertarungan yang sangat masyhur antara gereja dan ilmuwan. Akhirnya membuat keduanya menjadi musuh dan ancaman satu sama lain.

Gereja mewujudkan mitos Prometheus ketika mulai berseteru dengan gelombang ilmu pengetahuan yang sedang naik daun, di mana setiap kemajuan ilmu dianggap mengurangi kekuasaan gereja dan menambah kekuatan sekulerisme.

Di tahap akhir, tahap ini adalah masa yang masih dijalani oleh peradaban Barat saat ini, yaitu kemenangan ilmuwan atas gereja dan agama. Suasana permusuhan antara gereja dan ilmu membuat ilmu dan manusia bersatu sebagai satu makna yang kokoh melawan gereja & agama yang juga dianggap sebagai satu kesatuan yang solid. 

Penemuan hukum gerak oleh Newton memungkinkan ilmuwan memahami cara kerja alam semesta. Mereka menganggap bahwa manusia mengetahuinya bukan berkat Tuhan, tetapi karena kemampuannya sendiri.

Bahkan, pengetahuan tentang hukum-hukum ini dianggap sebagai pukulan terhadap gagasan tentang Tuhan, karena alam semesta tidak lagi bergerak atas kehendak atau pemeliharaan Tuhan, melainkan berdasarkan hukum-hukum alam.

Hal ini menjadi pola dalam setiap penemuan baru, di mana ilmu selalu mengurangi peran Tuhan dan menambah kepercayaan pada akal manusia. 

Kemajuan ilmu terus meningkatkan keyakinan pada ilmuwan. Dengan setiap penemuan baru, menjadikan paradigma itu semakin menguat, hingga akal menjadi satu-satunya jalan menjadi standard kebenaran.

Dalam persaingan sengit antara ide-ide, lingkungan ilmiah lebih menerima gagasan yang mendukung dan memperkuat konflik ini, misalnya; teori Darwin (1859) lebih diterima daripada teori Mendel (1866), karena Darwin lebih kuat dalam mengecualikan peran Tuhan dalam penciptaan.

Teori evolusi yang berasal dari satu sel  tunggal masih menyisakan pertanyaan tentang bagaimana sel pertama itu muncul?! sedangkan teori Mendel (segregation & independent assoftment) tetap menyisakan kompleksitas yang sulit dijelaskan. 

Dengan demikian, sejarah ilmu di Eropa sejak abad ke-17 menjadi kisah kepercayaan yang semakin besar pada akal semata. Ilmu pengetahuan menjadi sejarah “pembebasan akal manusia”, dan masa depannya dianggap menuju kepastian ilmiah universal, seperti yang diungkapkan Julian Huxley: “Manusia dulunya tunduk pada Tuhan di masa kebodohan dan ketidakberdayaan.

Namun kini, setelah ia belajar dan menguasai lingkungan, tiba saatnya ia memikul tanggung jawab yang sebelumnya ia serahkan kepada Tuhan. Dengan demikian, manusia menjadi Tuhan itu sendiri.” (Waqi’una Al-Mu’ashir, 89)

Ketika ilmu mengalahkan gereja, dan akal mengalahkan agama, dan manusia mengalahkan Tuhan, muncullah masalah berupa hilangnya referensi tertinggi dan tak ada lagi yang suci.

Dan ketika yang suci berakhir, maka semua nilai, idealisme, dan moralitas pun runtuh. Namun yang sangat berbahaya munculnya relativisme. Di mana tidak ada Tuhan atau yang suci, tidak akan ada contoh atau standar. Semua serba relatif.

Dalam konteks ini, sangat wajar jika muncul pemikir ekonomi misalnya seperti Malthus yang mengatakan bahwa perang dan konflik adalah cara alam untuk mengatur kembali dirinya sendiri dan sumber daya, serta kelaparan, penyakit, dan kematian adalah penghalang positif terhadap penghalang negatif seperti menunda pernikahan dan homoseksualitas.

Hal ini memberikan alasan yang kuat untuk banyak perang dan penghapusan, karena beberapa pemimpin Barat dalam banyak peperangan mereka menganggap ini sebagai takdir yang tak terhindarkan karena alam mengatur dirinya sendiri.

Demikian pula, Malthus mengusulkan bahwa upah pekerja tidak boleh melebihi kebutuhan dasar agar tidak berkembang biak terlalu banyak, dan menyarankan agar negara tidak memberikan bantuan kepada penganggur agar tidak mendorong mereka menjadi malas dan memiliki lebih banyak anak yang memperbanyak “mulut” tanpa memperbanyak “makanan”.

Pemikiran seperti ini diterima oleh parlemen Inggris seperti “wahyu ilahi yang suci” menurut Will Durant dalam “The Story of Civilization”.

Ilmu dalam peradaban Islam

Sedangkan sejarah ilmu dalam peradaban Islam memiliki hal yang berbeda, dengan pemahaman yang berbeda mengenai asal-usul, konteks, dan akhirnya. 

Sementara itu, dasar pemikiran Islam tentang ilmu adalah bahwa Allah Maha Mengetahui. Ilmu dalam Islam dapat dipahami dari tiga ayat yang merangkum banyak teks Al-Qur’an dan Hadis. Seperti firman Allah:

وَعَلَّمَ اٰدَمَ الْاَسْمَآءَ كُلَّهَا

“Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya”. (QS. Al-Baqarah: 31).

Mujahid berkata mengenai ayat ini bahwa Allah-lah mengajarkan kepada Adam nama semua makhluk, semua burung, dan segala sesuatu. (lihat: Tafsir Ibnu Katsir)

Sumber ilmu adalah Allah, dan objeknya adalah ciptaan-Nya, sehingga ilmu tidak akan pernah bertentangan dengan agama. Jika ada tampaknya ada kontradiksi, itu disebabkan oleh pemahaman agama atau pemahaman ilmu yang keliru dari manusia.

Ilmu adalah dasar bagi agama dan dunia, dan itu adalah pelita dalam kehidupan manusia. Tanpa ilmu, manusia tidak akan siap untuk menjalankan tugas sebagai khalifah di bumi, dan tanpa ilmu, kebaikannya tidak akan tercapai.

Ilmu adalah karunia dari Allah yang wajib disyukuri

وَعَلَّمْنٰهُ صَنْعَةَ لَبُوْسٍلَّـكُمْ لِتُحْصِنَكُمْ مِّنْۢ بَأْسِكُمْ ۚ فَهَلْ اَنْـتُمْ شٰكِرُوْنَ

“Dan Kami ajarkan (pula) kepada Daud cara membuat baju besi untukmu, guna melindungi kamu dalam peperanganmu. Apakah kamu bersyukur (kepada Allah)?” (QS. Al-Anbiya: 80)

Dan salah satu bentuk syukur atas ilmu adalah kata ulama adalah dengan menggunakannya untuk meraih keridhaan-Nya dan memperbaiki bumi dalam melaksanakan tugas sebagai khalifah, serta tidak menggunakannya untuk hal-hal yang haram atau merusak di bumi.

Karena ilmu adalah karunia Allah, setiap penambahan ilmu seharusnya menambah rasa syukur, berbeda dengan mitos Prometheus yang menggambarkan ilmu sebagai sesuatu yang dicuri dari para dewa tanpa persetujuan mereka.

Oleh karena itu, semakin banyak ilmu seharusnya menambah rasa tunduk kepada Allah

إنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama.” (QS: Fatir: 28)

Sementara dalam pandangan Barat, semakin banyak ilmu justru mengakibatkan kesombongan (menolak kebenaran dan merendahkan), kebanggaan, dan keinginan untuk menguasai.

Karena ilmu bersumber dari Allah, dan digunakan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, serta akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah, maka ilmu adalah untuk diamalkan dengan niat ikhlas dan benar.

Dengan demikian, ilmu dapat dijalankan secara objektif dan terjauhkan dari manipulasi untuk kepentingan pribadi maupun kelompok, atau pun juga penyembunyian kebenaran.

Umat Islam telah mengembangkan metode eksperimen sejak awal dan beranjak dari hal-hal yang jelas untuk menetapkan hukum-hukum Allah. Sementara orang Yunani lebih berfokus pada teori dan spekulasi yang sering kali keliru. Begitu juga orang Barat pada abad kekinian.

Ilmu akan berbuah jika digunakan untuk amal, sebagaimana Allah mengajarkan nama-nama kepada Adam agar ia dapat menjalankan tugas sebagai khalifah di bumi.

Sebagaimana dijelaskan Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam Mafahim; ilmu dalam Islam berfokus pada amal dan aplikasi, bukan hanya sebagai kekayaan intelektual semata.

Sayang jika ada umat Islam justru berkiblat pada mereka di tengah semakin maraknya kajian-kajian peradaban Islam. Ilmu Islam sebatas kekayaan intelektual, sementara ilmu Barat menjadi kekayaan intelektual sekaligus aplikatifnya. Wallahu A’lam.*

Penulis adalah seorang pengajar

Sumber Klik disini

Table of contents

Read more

Local News