Dokter Pengungkap Praktik Jual Darah dan AIDS di Pedesaan China Wafat di New York

Share

Hidayatullah.com– Gao Yaojie, seorang dokter wanita China yang menjadi terkenal setelah mengungkap praktik jual-beli darah dan wabah AIDS di pedesaan Tiongkok, meninggal dunia pada usia 95 tahun.

Dr. Gao meninggal dunia karena faktor alami disebabkan usianya yang sudah lanjut di New York, di mana dia mengasingkan diri sejak 2009, kata seorang temannya kepada BBC Senin (11/12/2023).

Dilahirkan di Provinsi Shandong pada tahun 1927, ia dan keluarganya melarikan diri ke provinsi bagian tengah Henan selama Perang Dunia Kedua.

Berlatar pendidikan dokter spesialis kandungan, dia menemukan pasien pengidap AIDS pertamanya di Henan pada 1996.

Dia berada di garis depan aktivisme AIDS di Tiongkok dan melakukan perjalanan ke seluruh pelosok negeri untuk merawat pasien, seringkali dengan biaya sendiri.

Dikenal sebagai “Nenek Gao”, dia mengunjungi desa-desa di Henan untuk menyelidiki seberapa besar kasus AIDS di sana. Dia kabarnya mengunjungi lebih dari 100 “desa AIDS” dan bertemu lebih dari 1.000 keluarga. Dia sering membagikan makanan, pakaian bertuliskan pesan kepedulian AIDS – sebagian besar atas biayanya sendiri.

Pada saat itu, pihak berwenang Tiongkok mengira bahwa HIV hanya ditularkan melalui dua cara – melalui hubungan seks atau dari ibu ke anak selama kehamilan. Dr Gao mendapat pencerahan ketika dia mengetahui bahwa salah satu pasiennya tidak termasuk dalam kategori tersebut, tetapi memiliki riwayat transfusi darah.

Dari pekerjaannya ia mengungkap bagaimana bisnis penjualan darah menyebabkan penyebaran HIV di daerah pedesaan.

Pada tahun 1980-an dan 1990-an, penjualan darah merupakan hal biasa di daerah pedesaan seperti Henan. Terbatasnya peluang ekonomi di kalangan komunitas petani membuat mereka tidak mempunyai pilihan lain untuk mencari nafkah – dan mencari nafkah dengan cara menjual darah sering kali didukung oleh pemerintah daerah. 

Namun, dengan sedikitnya kasus HIV yang didiagnosis di pedesaan Tiongkok pada saat itu, dan rendahnya kesadaran terhadap AIDS, darah juga dikumpulkan dari pasien HIV+, yang menyebabkan terjadinya penyebaran penyakit.

Aparat Henan awalnya menyembunyikan praktik penjualan darah tersebut, tetapi akhirnya menutup bisnis itu pada pertengahan tahun 1990-an. Sementara itu, Dr. Gao terus berbicara tentang penyebaran HIV di negaranya.

“Ini lebih besar. Ini berskala nasional, di mana-mana. Saya sudah melihat semuanya dengan mata kepala sendiri. Penjualan darah itu ilegal. Dulu terbuka dan diketahui umum. Sekarang dilakukan secara sembunyi-sembunyi,” katanya dalam wawancara dengan BBC pada tahun 2010.

Dr. Gao mengklaim bahwa 10 juta orang terinfeksi HIV di Tiongkok, jauh lebih besar dari angka resmi yang disebutkan Beijing 740.000. Namun, pernyataan dokter itu dibantah oleh para pejabat Tiongkok.

Meskipun dia bukan dokter China pertama yang mengungkap adanya epidemi AIDS di negeri itu, tetapi upaya-upaya yang dilakukannya membuat situasi itu diketahui masyarakat luas baik di dalam maupun di luar negeri.

“Setelah Dr. Gao gagal menyampaikan masalah AIDS yang menular melalui tempat-tempat pembelian darah kepada pemerintah provinsi Henan, dia menyampaikan kisah tersebut kepada reporter New York Times,” kata Professor Andrew Nathan di  Columbia University, yang membantunya bermukim di New York.

“Kisah tentang epidemi AIDS dan hubungannya dengan penjualan darah di Henan (dulu) dimuat di halaman depan surat kabar, dan menjadi skandal internasional, yang kemudian mempengaruhi pemerintah Tiongkok untuk bertindak.”

Hal itu menggiring perhatian media kepada hasil temuan Dr. Gao di awal tahun 2000-an. Dia juga kemudian mendapatkan berbagai penghargaan dari dalam maupun luar negeri.

Mantan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton mengatakan Dr Gao adalah “salah satu orang paling berani yang saya kenal”.

Awalnya, otoritas China bersikap lunak terhadap Dr. Gao yang giat mengkampanyekan kepedulian terhadap kasus AIDS di negerinya. Stasiun penyiaran milik pemerintah CCTV memujinya sebagai salah satu “tokoh yang menggerakkan Tiongkok” pada tahun 2003, dan memuji “pengetahuannya yang mendalam dan pemikiran rasional yang menghilangkan prasangka dan ketakutan masyarakat akan HIV/AIDS, dan kasih sayang keibuannya serta antusiasme tanpa pamrihnya yang memberikan kehangatan bagi kaum yang rentan”.

Namun, pihak berwenang Henan kemudian merasa tidak nyaman dengan kritik-kritik pedasnya terhadap para pejabat. 

Dr. Gao lantas angkat kaki dari China pada tahun 2009, karena pengawasan dan tekanan yang meningkat dari pemerintah setempat.

Dia pindah ke New York dan tinggal di sana sampai kematiannya. Suaminya Guo Mingjiu meninggal pada tahun 2006. Wanita itu meninggalkan dua putri dan seorang putra.

Meskipun mendapatkan curahan puja dan puji atas pekerjaannya sebagai dokter, Dr. Gao memiliki hubungan yang tidak erat dengan anak-anaknya.

Putri sulungnya pernah berkata bahwa ibu kami “menyelamatkan nyawa orang lain tetapi menghancurkan keluarga kami,” menurut Shiyu Lin, penulis “The Oral History of Gao Yaojie”.

“Bahkan Nenek Gao sendiri pernah mengatakan kepada saya: Saya adalah seorang dokter yang baik, tetapi bukan seorang ibu yang baik,” kenang Lin.

Meskipun dia sudah lama tidak berkunjung ke China, kematiannya diratapi oleh sebagian warganet negeri panda.

“Generasi pekerja media atau pembaca media mengenalnya dan mengingatnya. [Berita] itu juga mengingatkan saya pada nama dokter Tiongkok lainnya seperti Jiang Yanyong dan Li Wenliang,” kata jurnalis Li Weiao di media sosial Weibo, merujuk pada dokter yang mengungkap wabah Sars pada tahun 2003 dan pandemi Covid-19.*

Sumber Klik disini

Table of contents

Read more

Local News