Hidayatullah.com– Kementerian Luar Negeri Azerbaijan, hari Selasa (26/12/2023), mengatakan pihaknya memerintahkan dua diplomat Prancis untuk meninggalkan negaranya disebabkan tindak-tanduk mereka “tidak sesuai dengan status diplomatiknya “.
Kementerian itu mengatakan dalam sebuah pernyataan bajwa pihaknya sudah memanggil Duta Besar Prancis Anne Boillon guna menyampaikan “protes keras” atas tindakan kedua staf Kedubes Prancis tersebut yang tidak sesuai dengan status diplomatik mereka dan yang bertentangan dengan Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik 1961.
Keduanya dinyatakan sebagai “personae-non-gratae” oleh pemerintah Azerbaijan dan diperintahkan untuk meninggalkan negara itu dalam waktu 48 jam, menurut sebuah pernyataan yang dipublikasikan dalam bahasa Inggris di situs web Kementerian Luar Negeri Azerbaijan, lansir RFI.
Pengusiran dilakukan menyusul ketegangan hubungan antara Paris dan Baku terkait konflik wilayah Nagorno Karabakh. Baku menuding Prancis bersiap bias terhadap Armenia dalam perundingan damai yang dimediasi oleh Eropa dengan musuh bebuyutannya itu.
Sebagaimana diketahui Azerbaijan – yang mayoritas Muslim – memperebutkan wilayah Nagorno-Karabakh dengan Armenia – yang mayoritas Kristen.
Pada bulan November, Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev menuding Prancis menyulut konflik bersenjata di kawasan Kaukasus dengan mempersenjatai Armenia.
Pasukan Baku berhasil menguasai kembali daerah kantong itu pada bulan September setelah melakukan serangan kilat terhadap separatis Armenia yang menguasainya selama tiga dekade.
Armenia dan Azerbaijan sempat mengatakan bahwa perjanjian perdamaian komprehensif dapat ditandatangani pada akhir tahun ini, tetapi perundingan yang dimediasi secara internasional antara kedua negara bekas Uni Soviet itu hanya mengalami sedikit kemajuan.
Aliyev PM Armenia Nikol Pashinyan bertemu dalam beberapa kesempatan untuk melakukan perundingan yang dijembatani oleh Uni Eropa.
Namun, pada bulan Oktober, Aliyev menolak menghadiri pertemuan dengan Pashinyan di Spanyol, dengan alasan yang disebutnya “posisi bias” Prancis.
Pertemuan itu digagas oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Kanselir Jerman Olaf Scholz bersama Presiden Dewan Eropa Charles Michel.
Prancis memiliki jumlah diaspora Armenia yang besar, dan sikap Paris dalam isu Nagorno-Karabakh cenderung ke sisi Armenia – yang secara latar belakang budaya dan agama tidak banyak berbeda dengannya.*
Sumber Klik disini