Seluruh kekayaan alam anugerah Allah yang terpendam dalam perut bumi yang memiliki deposit tak terbatas adalah hak milik bersama. Tidak boleh dijadikan hak milik negara. Walaupun demikian, negara diberi wewenang oleh Syara’ untuk mengelola demi kemaslahatan dan kesejahteraan umat manusia seluruhnya.
Negara juga tidak boleh mengalihkan atau melimpahkan hak pengelolaannya kepada pihak manapun baik perorangan maupun korporasi.
Semua Ulama Imam Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali menyatakan pengalihan hak pengelolaan kepada pihak lain mengurangi hak bersama yang dimiliki oleh setiap orang. (Ibnu Qudamah, al-Mughni VIII/155, Wahbah az-Zuhaily , al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, V/451-457).
Ada dua alasan kuat yang dikemukakan oleh para Ulama:
Pertama, hadits yang disampaikan oleh Sahabat Abyadh bin Hammal bahwa dia meminta Rasulullah Saw untuk diberi hak pengolahan tambang garam di suatu lokasi yang ditunjukkannya. Rasulullah Saw semula memenuhi permintaannya, tetapi setelah mengetahui bahwa lokasi penambangan tersebut memiliki deposit garam yang besar maka dicabut kembali izin tersebut.
عن ابيض بن حمال انه وفد الي رسول الله صلي الله عليه و سلم فاستقطعه الملح فقطع له، فلما ان ولي قال رجل من المجلس، أتدري ما قطعت له ؟ إنما قطعت له الماء العد ، قال : فانتزعه منه. رواه الترمذى و ابو داود
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada sahabat Abyadh bin Hammal untuk menyerahkan kembali tambang garam di lokasi tersebut karena terdapat kandungan garam luar biasa bagaikan air yang mengalir. (HR. Tirmidzi No.1380, Abu Daud No.3064).
Tindakan Rasulullah mengambil kembali tambang garam setelah Beliau mengetahui bahwa depositnya sangat banyak laksana air yang mengalir menunjukkan bahwa kepala negara tidak dibenarkan untuk melimpahkan pengolahannya kepada pihak swasta.
Kedua, sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
الناس شركاء في ثلاث ، في الماء و الكلأ و النار .
Semua manusia mempunyai hak yang sama atas air, rumput, dan api. (HR. Ibnu Majah No.2472 dengan lafadz , “al-Muslimuuna” ).
Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya Nailul Authaar mengatakan, hadits ini menunjukkan bahwa semua manusia mempunyai hak yang sama atas sumber daya air. Juga sumber daya api berupa semua jenis tambang, batubara dan nikel, gas dan minyak bumi, emas dan intan serta jenis tambang lainnya termasuk garam di laut. Begitu pula rumput dan tempat tumbuhnya rumput seperti lembah, gunung , pulau dan tanah-tanah tak bertuan merupakan hak milik bersama (Nailul Authaar, V/365)
Air merupakan salah satu kebutuhan vital hidup manusia. Oleh karena itu para Ulama sepakat bahwa setiap orang mempunyai hak intifa’ (mengambil manfaat) atas segala jenis air, baik sebagai hak syirb dan syafah (minum dan kebutuhan rumah tangga) maupun hak majra (irigasi).
Hal ini untuk menjaga, jangan sampai terjadi, hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan air minum yang segar, rakyat harus mengorek kantongnya sebagai dampak dari swastanisasi sumber daya air.
Karena swastanisasi sumber daya air dan komersialisasi air akan menghilangkan hak mendapatkan air secara bebas dari rakyat, yang seyogyanya setiap orang dapat dengan bebas mengkonsumsi air dan menggunakannya kapanpun dan dimanapun selama tidak bertentangan dengan ketentuan Syari’at agama.
Wallahu a’lam bish-shawaab.
KH Muhammad Abbas Aula
Ketua Komisi Fatwa MUI Kota Bogor periode 2005 – 2019
Sumber Klik disini