Ada-ada saja ide Pak Menteri. Belum puas dengan ide-ide absurd sebelumnya seperti sekolah subuh dan menyarankan PTS untuk mencari untung dari biaya wisuda. Kini, Pak Menteri kembali melontarkan pernyataan nyeleneh yang kembali viral. Katanya, Pak Menteri mendukung sistem pinjaman online (pinjol) untuk membayar uang tunggal kuliah (UKT).
Ya, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, mengusulkan pinjol bagi mahasiswa sebagai solusi pembayaran UKT di tengah situasi wacana kenaikan UKT. Menurut Pak Menteri, pinjol menjadi cara bagus untuk mendidik mahasiswa agar memiliki fighting spirit dan rasa tanggung jawab. Bahkan Pak Menteri pernah berkata bahwa pinjol sebetulnya merupakan sistem, jika terjadi fraud atau penyalahgunaan, ya, orangnya.
Sungguh, pernyataan Pak Menteri kok terkesan negara lepas tanggung jawab terhadap akses pendidikan rakyat. Pak Menteri pun seolah menegaskan bahwa mahasiswa harus berjuang sendiri. Padahal jadi mahasiswa di era saat ini peliknya bukan main.
Zaman sekarang, mahasiswa sudah disibukkan dengan segunung tugas kuliah dan skripsi, tidak sedikit pula mahasiswa yang nyambi bekerja demi membayar UKT yang katanya berpotensi mengalami kenaikan pada tahun 2025. Sebuah kondisi yang mengakibatkan banyak mahasiswa mengalami tekanan fisik dan mental.
Eh, kok, ya, bisa-bisanya Pak Menteri mengusulkan pinjol sebagai solusi membayar UKT. Apalagi pinjol mempunyai reputasi buruk dan berakibat fatal, sudah banyak orang pula yang menjadi korban. Jelas mustahil menjadi solusi masalah pendidikan secara sistemik.
Pakar Ekonomi Syariah dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga (FEB Unair), Dr. Imron Mawardi, SP. Msi., mengungkapkan bahwa solusi jangka pendek ini (pinjol) berpotensi menjebak mahasiswa dalam lingkaran utang karena memiliki bunga pinjaman yang fantastis.
Ia juga menjelaskan, salah satu bunga pinjol pendidikan di Danacita sekitar 1,75% flat per bulan, setara dengan 21% per tahun. Jika bunga flat tersebut dikonversi ke bunga efektif seperti bunga kredit pemilikan rumah (KPR), maka bunganya setara dengan 42%. Besarnya tiga kali lipat bunga KPR. (unair.ac.id, 12/02/2024).
Jelas, solusi yang ditawarkan Pak Menteri ini alih-alih meringankan beban mahasiswa, sebaliknya per-pinjol-an ini justru makin menambah beban hidup rakyat. Pak Menteri tampaknya harus belajar dari Amerika Serikat yang pernah mengambil solusi yang serupa.
Amerika Serikat pernah menerapkan student loan, yakni pinjaman yang dapat diambil oleh mahasiswa untuk membayar kuliah. Setelah lulus, para mahasiswa diharuskan membayar pinjaman tersebut. Namun, hasilnya katastrofe.
Sebab, 32 persen yang mengambil student loan alih-alih menjadi lebih bertanggung jawab atau dipenuhi fighting spirit, justru mengalami depresi. Sementara itu, 56 persen terkena anxiety karena beban pinjaman, sedangkan satu dari lima orang mengalami kurang tidur malam dan serangan panik (The Financial and Mental Cost of The United States’ Higher Education Issues, elvtr.com). Alhasil, kasus yang sama dapat saja terjadi jika pinjol digunakan sebagai solusi bayar UKT, bahkan bisa jadi dampaknya jauh lebih buruk.
Pak Menteri seharusnya ingat bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan cita-cita yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Sehingga seharusnya akses pendidikan menyebar merata dan dapat diakses dengan mudah, murah, dan berkualitas oleh seluruh rakyat. Namun, paradigma sekuler yang menjadi pijakan membangun sistem pendidikan di negeri ini, membuat sektor pendidikan makin kapitalistik.
Jargon “Orang Miskin Dilarang Sekolah” makin tampak, karena biaya sekolah yang makin hari makin mahal. Paradigma kapitalisme sukses menempatkan negara sebagai regulator bagi kepentingan pemilik modal, bukan sebagai pengurus kepentingan rakyat. Tidak heran, jika sistem pendidikan diselenggarakan bukan lagi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, melainkan untuk mendulang keuntungan. Akhirnya, solusi problematika pendidikan pun tidak jauh-jauh dari aroma kapitalistik, termasuk pinjol yang berbasis riba.
Sumber Klik disini