Jadi pemimpin tidak mudah. Tokoh Masyumi, Kasman Singodimedjo menyatakan leiden is lijden. Pemimpin itu menderita. Pemimpin itu harus mendulukan rakyatnya. Pemimpin itu harus berani 24 jam berpikir untuk kesejahteraan rakyatnya. Pemimpin harus berani hidup seperti kebanyakan rakyatnya.
Lihatlah Rasulullah Saw. Meski Rasul bisa membuat istana yang megah, Rasul tidak mau. Rasul memilih hidup sederhana. Dua puluh empat jam waktunya dipergunakan untuk memikirkan rakyatnya. Memikirkan agar rakyat terjamin kebutuhan hidupnya dan dapat hidup bahagia (dunia dan akhirat).
Dua Umar juga terkenal kesederhanaannya. Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz. Meski saat itu kekayaan negara melimpah ruah, Umar tidak mau bermewah-mewah. Ia memilih tinggal di rumah yang sederhana. Ia tidak mau membangun istana dengan emas, seperti kebiasaan Raja Romawi dan Raja Persia. Dua Umar itu hidup sederhana dan memperingatkan keluarganya dengan keras agar tidak memanfaatkan harta negara (tidak korupsi).
Di masa modern, Mohammad Natsir, mantan Perdana Menteri RI adalah contoh pemimpin yang berani hidup sederhana. Memakai jas tambalan bukan pakaian yang memalukan bagi Natsir. Mengembalikan mobil dinas adalah kewajiban baginya. Natsir tidak pernah korupsi dan memanfaatkan uang negara untuk kepentingan pribadi, kelompok atau keluarganya.
Selain Natsir, Presiden Iran Ahmadinejad juga terkenal dengan hidupnya yang sederhana. Setelah terpilih sebagai presiden, ia mengumumkan kekayaannya yang terbatas, termasuk mobil tua dan rumah warisan yang sederhana.
Selama masa jabatannya, Ahmadinejad memilih untuk tidak tinggal di istana presiden dan tetap tinggal di rumahnya sendiri, serta tidak mengambil gaji dari posisinya, dengan alasan bahwa semua kesejahteraan adalah milik negara yang harus dijaga. Dia juga dikenal karena tindakan simbolisnya, seperti menyumbangkan karpet mahal dari Istana Iran ke masjid-masjid dan meminta para menterinya untuk hidup dengan sederhana.
Mulailah dari dirimu, kata Rasulullah. Ya, untuk mengubah masyarakat pemimpin harus mulai dari dirinya. Bila dirinya masih suka bermewah-mewah, pamer kekayaan dunia, berhentilah jadi pemimpin. Apalagi pemimpin Indonesia yang jumlah penduduk miskinnya menurut Bank Dunia masih 40% (110 juta).
Memang berat mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia. Para pejabat di negeri kita masih senang bermewah-mewah. Mulai dari presiden, Menteri, DPR dan lain-lain. Mereka masih rakus harta.
Kerakusan bukan hanya korupsi atau penyelewengan uang negara. Kerakusan dimulai dari tidak empatinya para pejabat terhadap kondisi jutaan kaum miskin di Indonesia. Anggota DPR yang menerima penghasilan tiap bulan lebih dari 100 juta sebenarnya bisa digolongkan rakus. Begitu pula direksi atau komisaris Pertamina yang menerima gaji ratusan juta per bulan juga rakus.
Lihatlah misalnya kerakusan di Bank Pemerintah pada tahun 2016. Bank Mandiri pada 2016 telah mengeluarkan dana untuk gaji Dewan Komisaris sebesar Rp15,97 miliar yang dibagikan untuk sembilan orang. Jika dihitung secara rata-rata gaji perorangan dewan komisaris Rp1,77 miliar per tahun atau Rp147,91 juta per bulan.
Sembilan Komisaris Bank Mandiri di 2016 juga mendapatkan tunjangan rutin Rp4,67 miliar atau Rp518,9 juta per orang per tahun atau Rp43,2 juta per bulan. Sedangkan untuk pembagian tantiem (bonus) di 2016 untuk 13 orang sebesar Rp65,78 miliar atau rata-rata Rp5,06 miliar per orang.
Sementara untuk dewan direksi Bank Mandiri total gaji yang telah disalurkan sebesar Rp39,06 miliar untuk 12 orang. Jika dibagi rata-rata per direksi mendapatkan gaji Rp3,25 miliar per tahun atau Rp271,26 juta per bulan. Kemudian untuk pembagian tantiem di 2016 sebesar Rp212,03 miliar untuk 17 orang atau Rp12,47 miliar.
Sumber Klik disini