Bisakah menjadi Presiden tanpa ongkos. Alias, gratis? Bisa! Sepanjang dari seluruh komponen kesatuan bangsa, negara dan rakyat ini mengerahkan super deeper digdaya kemauan kuat, enforcement political will mewujudkannya!
Soalnya, lama-lama terasa jabatan Presiden di negeri ini kok semakin terkesan adanya suatu keharusan mengeluarkan tak sedikit biaya. Bahkan, sangat mahal sampai beratus-ratus trilyun.
Padahal, berapa pun mahal ongkosnya jabatan Presiden itu akan menjadi receh-receh pula. Manakala kok jabatan sang penguasa negara bisa diperjualbelikan? Dampaknya, it is dangerously and hororable.
Itu sangat mengerikan lebih mengerikan daripada nanti melihat negeri ini Presidennya dibiayai dan dibeli oleh para oligarki pemburu rente (rent seeking ). Negara berakibat hancur lebur dan bubar berantakkan.
Maka, untuk jabatan prestige Presiden pemimpin kepala negara sudah selayaknyalah negara sendiri yang secara total dan murni membiayainya. Lantas bagaimanakah caranya?
Terlebih dahulu merestorasi dan merekonstruksi kembali pengelolaan tata aturan dan peraturan hukum dan kelembagaan ketatanegaraan kita.
Sesuai rencana dan rancangan dalam aturan dan peraturan ini nanti ternyata tercapai besaran jumlah pembiayaan terasa lebih efisien dan disediakan oleh Pemerintahan yang sedang berjalan sekarang hingga lima tahun mendatang.
Yaitu, terlebih dahulu memulainya mengamandemen kembali UUD 1945 dengan menghadirkan suatu kelembagaan baru —anggaplah pengganti DPA yang dulu pernah ada berubah fungsi. Tidak lagi menasihati sebagai lembaga penasehat Presiden.
Tetapi menjadi Dewan Pertimbangan Etik, Ilmu, dan Agama (DPEIA). Lembaga ini berkedudukan dan berkesejajaran dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya, seperti DPR, MK dan MA.
Yang keanggotaannya merepresentasikan dari tidak sekadar latar belakang kepakaran keilmuan hukum, politik dan tata negara saja dengan bergelar profesor dan doktoral. Tetapi, berdasarkan semua keilmuan berasal dari kelembagaan perguruan tinggi di seluruh pelosok negeri;
Dan para tokoh alim ulama, pendeta, biksu dan biku dll berasal dari pelbagai organisasi masa Islam terbesar, ormas pendidikan, keuskupan dan kependetaan, majelis Hindu, Budha dan Konghuchu, dll; Serta para pemangku adat dan sultan.
Ide munculnya pemikiran ini dari pengalaman Pilpres 2024 lalu, ketika lebih dari 30O guru besar dari pelbagai civitas akademika perguruan tinggi memberikan usulan koreksi dan solusi ter-notice amiqus quriae perihal sengketa pemilu dan pelanggaran konstitusi Gibran.
Itu sudah terdistribusikan ke DPR, MK, KPU dan Bawaslu. Meskipun gagal, karena tidak diterima oleh MK dan DPR dikarenakan begitu kuatnya intervensi kekuasaan Presiden dan oligarki saat itu.
Sumber Klik disini