fbpx
Minggu, 6 Oktober 2024

Praktik Demokrasi Internal Parpol Dikritik, “Parpol Mirip PT atau Milik Keluarga”

Share

Jakarta (SI Online) – Praktik demokrasi di Indonesia, khususnya di internal partai politik, saat ini dikritik oleh para pengamat dari kampus.

Rektor Universitas Paramadina Prof. Didik J. Rachbini mengatakan, demokrasi internal tidak pernah disentuh, seolah-olah itu adalah taken for granted yang terjadi di hulu partai. Akibatnya partai politik saat ini lebih mirip perseroan terbatas atau milik keluarga.

Hal itu dikatakan Didik dalam diskusi “Demokrasi Internal dan Oligarki Partai” yang diadakan Universitas Paramadina bekerja sama dengan LP3ES secara daring pada Jumat (27/9/2024) pekan lalu.

Demokrasi jika dipaksa oleh aturan main atau tekanan-tekanan publik, atau ada sensor atau skrining atau saringan untuk membersihkan kotoran-kotoran kepentingan.

“Saringannya itu adalah check and balances, kontrol publik, transparansi dan seterusnya. Jadi demokrasi internal di dalam partai itu tidak terjadi karena sebab dari para elite partai, bahwa seolah-olah ada titisan-titisan seperti Megawati adalah titisan Soekarno,” kata Didik.

Dosen Universitas Paramadina, Dr Herdi Sahrasad, melihat sebenarnya pikiran-pikiran yang mengkhawatirkan tidak adanya demokrasi internal di parpol sudah sejak awal reformasi disuarakan. Tapi suara-suara tidak cukup kuat untuk mengubah budaya yang telah terlanjur terbentuk di dalam partai.

“Semakin ke sini, jadi nampak bahwa tidak ada lagi etika dan nilai-nilai yang dihormati dan menjadi landasan dalam pelaksanaan perpolitikan di Indonesia oleh elite-elite partai politik” kata Herdi.

Demokrasi internal di dalam parpol saat ini hampir mustahil karena yang bermain adalah oligarki.

“Seperti kata Olle Tornquist bahwa parpol memang dipimpin oleh ketua partai tapi ketua parpol itu tunduk kepada oligarki modal atau para bohir yang bisa memaksakan kepentingannya kepada para elite partai dan jajarannya,” tuturnya.

“Saat ini demokrasi Indonesia menjadi demokrasi transaksional bahkan demokrasi kriminal karena hanya memainkan uang dan uang saja. Akibatnya, pergerakan ekonomi nasional menjadi tidak terkontrol dan parlemen pun menjadi disfungsional peran kontrolnya. Yang terjadi kemudian terjadilah korupsi yang luar biasa, KKN dan utang yang sangat tinggi hampir 10 ribu triliun” imbuhnya.

“Saat ini butuh revolusi kultural untuk memperbaiki semuanya. Reformasi sudah tidak mampu lagi, dimana reformasi ekonomi struktural kemarin telah menghasilkan kebijakan ekonomi politik yang tidak berpihak pada rakyat banyak. Akibatnya muncul oligarkisme dan demokrasi bukan lagi substansial tapi demokrasi transaksional dan abal-abal” katanya.

1 2Laman berikutnya

Sumber Klik disini

Tinggalkan Balasan

Table of contents

Read more

Berita lainnya