fbpx
Senin, 2 Desember 2024

Politik Gincu Versus Politik Tasawuf

Share

Bila kita berjalan-jalan di sekitar Jadebotabek hari-hari ini, maka kita akan melihat pinggir-pinggir jalan dipenuhi iklan-iklan politik. Iklan presiden wakil presiden, iklan anggota DPR, iklan anggota DPRD dan lain-lain.

Iklan ini nampaknya bukan hanya di kota-kota besar, di kota-kota kecil bahkan pedesaan kini penuh dengan iklan. Pilihlah saya, jangan pilih yang lain, begitu pesan yang mereka kirimkan.

Kenapa jabatan politik menjadi rebutan ribuan orang Indonesia? Dan kebanyakan ‘orang-orang berduit’?

Ya karena mereka berharap jabatan politik akan mengerek kehormatan mereka. Jabatan politik akan memakmurkan mereka. Bayangkan penghasilan DPR lebih dari 100 juta sebulan (belum uang kunjungan ke daerah, luar negeri dll), gaji DPRD Bekasi dan Depok sekitar 40 juta, gaji presiden wakil presiden lebih dari 100 juta (belum fasilitas dan tunjangan mewah lainnya).

Melihat iklan iklan politik yang bersliweran itu, kita tidak melihat gagasan yang revolusioner dan fundamental membenahi masyarakat Indonesia. Kita tidak menemukan misalnya iklan turunkan gaji presiden, turunkan gaji DPR, turunkan gaji pejabat BUMN dan lain-lain.

Mereka menghindari membicarakan masalah gaji. Karena mereka mengincar gaji yang besar. Karena mereka mengincar kursi kehormatan. Karena mereka mengincar sebutan yang mulia. Karena mengincar tepuk tangan dan tulisan-tulisan yang memuji mereka.

Begitulah proses politik di negeri ini. Begitulah proses pemilihan pemimpin di negeri ini.

Pemilihan lewat jalan kotak suara. Pemilihan lewat jalan voting. Pemilihan dengan memilih orang-orang yang tidak dikenal. Pemilihan pemimpin yang dilakukan orang bodoh dan orang pintar. Pemilihan yang suaranya dianggap sama, antara kiyai dan pelacur. Antara profesor dan lulusan SD.

Penjatuhan presiden Soeharto 1998, dengan jargon reformasi, dengan jargon penghapusan KKN adalah suatu kebohongan. Mereka (kelompok CSIS dan komunis) menjatuhkan Soeharto adalah karena mereka tidak suka Soeharto terlalu memihak ke Islam. Soeharto meninggalkan CSIS dan beralih ke ICMI. Soeharto berani membuat koran Islam Republika menyaingi Kompas. Soeharto berani meluncurkan Bank Muamalat untuk menyaingi bank-bank konvensional. Soeharto mengangkat jenderal-jenderal Muslim yang di masa Benny Moerdani mereka disingkirkan.

Soeharto diturunkan dan penggantinya adalah Gus Dur dan Megawati yang kualitas kepemimpinannya jauh lebih buruk dari Soeharto. Hanya Habibie yang kualitasnya lumayan ‘menandingi Soeharto’. Sayangnya Habibie lebih menguasai teknologi daripada politik, sehingga hanya sekitar setahun berkuasa. SBY juga tidak lebih baik dari Soeharto, di masanya korupsi menggurita dimana-mana.

Jokowi apalagi. Ia adalah presiden yang tidak mempunyai ideologi. Ia mantan pengusaha mebel yang tahunya benda-benda fisik. Maka jangan heran ia hanya peduli jalan tol, infrastruktur dan sebagainya. Ia tidak tahu banyak aktivis Islam ditangkap. Ia tidak tahu program-programnya menyingkirkan umat Islam dari politik dan ekonomi. Ia tidak tahu program-programnya menyakitkan umat Islam. Ia tidak tahu dibelakangnya geng non Muslim radikal.

Karena penggulingan Pak Harto didasari dendam, maka program-program pembenahan negeri ini kacau. Mulai dari amandemen UUD 1945, UU Minerba dan berbagai undang-undang lain yang banyak menguntungkan asing.

Sumber Klik disini

Tinggalkan Balasan

Table of contents

Read more

Berita lainnya