fbpx
Senin, 14 Oktober 2024

UU KIA, Benarkah untuk Kesejahteraan Perempuan?

Share

RANCANGAN Undang-Undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (KIA) yang sempat ramai diperbincangkan kini telah resmi disahkan oleh DPR pada rapat paripurna yang digelar hari Selasa, 4/06/2024 (Kompas.com, 4/6/2024). Pengesahan ini dianggap sebagai angin segar bagi perempuan karena kebijakan baru yaitu cuti melahirkan selama enam bulan.

Di sisi lain, Komnas Perempuan mengkhawatirkan UU KIA ini akan berdampak pada diskriminasi perempuan dalam perekrutan tenaga kerja. Sebab, ada kemungkinan risiko jika perusahaan lebih memilih laki-laki dibandingkan perempuan untuk mengurangi beban cuti yang cukup lama saat melahirkan.

Rieke Diah Pitaloka, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, menjamin bahwa hal yang dikhawatirkan tersebut tidak akan terjadi. Dengan disahkannya UU KIA tidak akan mendiskriminasi perempuan dalam pekerjaan. Diah menilai diskriminasi itu terjadi jika perusahaan memecat perempuan yang sedang dalam cuti melahirkan.

Terang saja, pengesahan UU KIA ini disambut positif dari kalangan perempuan, mengingat cuti yang didapat semakin panjang dari yang awalnya tiga bulan menjadi enam bulan. Sehingga perempuan tetap bisa berkarir dengan tenang dan tetap berkontribusi dalam menguatkan perekonomian keluarga.

Inilah paradigma kapitalisme terhadap perempuan yang orientasinya hanya berfokus menghasilkan materi, sehingga tolok ukur dalam kesuksesan dan pencapaian akan selalu berbau materi belaka. Maka wajar steorotip perempuan yang berdaya adalah perempuan yang bekerja dan menghasilkan uang. Inilah yang dinamakan perempuan produktif. Perempuan secara sadar didorong untuk berdaya guna mengejar karir dan memajukan ekonomi.

Adanya kebijakan ini menjadi pendukung penuh perempuan untuk bekerja dan mencukupkan diri dengan menemani anak sebatas enam bulan saja, yakni sesuai dengan cuti yang diberikan perusahaan. Padahal pendampingan seorang anak masih dibutuhkan hingga usia mummayiz, yaitu saat usia anak dapat membedakan antara yang baik dengan yang buruk.

Sungguh pandangan yang batil ini makin menjauhkan peran ibu sebagai madrasah pertama bagi anak, status yang mulia bagi perempuan. Sejatinya, pengurusan generasi yang cermelang tentu ada di tangan seorang ibu. Terdapat amanah besar untuk mendampingi, merawat serta mendidik generasi yang akan mengisi peradaban, dan keberhasilan generasi ini tentu terbentuk dari ibu yang cerdas.

Sistem hari ini membuat kaum Muslim seakan hilang arah atas kodratnya sebagai manusia, sebagai ibu, anak, dan ayah. Sistem yang mematikan fitrah seorang prempuan menjadi ibu, seorang perempuan mulia dan mempersulit laki-laki mengemban tanggung jawab dalam mencari nafkah. Sistem yang dibangun atas dasar sekularisme. Terlebih hanya sibuk membuat banyak peraturan tanpa memberi solusi mendasar.

Seharusnya jika negara memang benar ingin memberikan kesejahteraan pada perempuan, maka aturan yang tepat adalah mengembalikan peran perempuan sesuai fitrahnya dan mendorong laki-laki untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Perlu diketahui, cuti enam bulan ini hanyalah cuti tambahan apabila pekerja dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk bekerja dengan syarat keterangan dokter. Jadi tidak semua perempuan hamil akan diberikan cuti selama 6 bulan. Jika kondisi kehamilan normal, maka cuti yang didapat tetap 3 bulan.

Seperti biasa, peraturan penguasa hari ini akan selalu memiliki syarat dan ketentuan yang berlaku. Jadi, pekerja wanita tidak boleh merasa sumringah dulu atas embusan UU KIA ini, karena cuti enam bulan baru dapat dikantongi jika ada keterangan dokter dengan kondisi tertentu.

Dalam Islam sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Dan seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari).

Sumber Klik disini

Tinggalkan Balasan

Table of contents

Read more

Berita lainnya