Tips Mendidik Anak di Era Digital: Belajar dari Nabi Muhammad

Share

Hidayatullah.com – Di era digital ini, tantangan dalam mendidik anak semakin kompleks. Informasi yang melimpah ruah dan mudah diakses menjadi berkah sekaligus ancaman. Bagaimana kita, sebagai orang tua, dapat membimbing anak-anak kita agar tetap tumbuh dengan nilai-nilai Islami di tengah derasnya arus informasi? Nabi Muhammad SAW, dengan kasih sayangnya yang luar biasa terhadap anak-anak, memberikan kita banyak pelajaran berharga yang relevan untuk diterapkan, bahkan di zaman serba digital ini.

Tips Membimbing Anak

Terlepas dari kesibukan Rasulullah, beliau memprioritaskan untuk menunjukkan kasih sayang kepada anak-anak, mengajarkan kepada kita bahwa mengasuh anak-anak dapat dan harus diintegrasikan ke dalam kehidupan sehari-hari, sesibuk apa pun kita. Sikap Nabi Muhammad SAW ini terangkum dalam sebuah ayat Al-Quran:

“Dan dengan rahmat Allah, kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu” (QS Ali Imran: 159).

Menyaring Informasi

D era di mana informasi mudah diakses dan melimpah sangatlah penting untuk mendekati anak dengan bijaksana dan penuh pengertian.

Orang tua menghadapi tantangan besar dalam membantu anak-anak mereka memilah informasi yang benar dan menolak yang salah. Penting untuk mengajari anak-anak berpikir kritis dan membedakan antara sumber yang dapat dipercaya dan yang tidak, terutama saat mereka bertanya tentang Nabi Muhammad SAW.

Ibnu Abbas pernah ditanya bagaimana ia memperoleh ilmunya yang luas. Ia menjawab, “Dengan lidah yang selalu bertanya dan hati yang memahami.” (Imam Ahmad dalam kitab Fadail Al-Sahabah, 2/970).

Jawaban ini menegaskan bahwa kombinasi antara pertanyaan dan pemahaman mendalam sangat penting dalam memperoleh pengetahuan.

Pernyataan Ibnu Abbas menunjukkan pentingnya kombinasi dua kualitas: lidah yang secara aktif mencari pengetahuan melalui pertanyaan, yang merupakan naluri dalam diri setiap anak, dan hati yang memahami dan menyimpan apa yang dipelajarinya.

Ketika kedua kualitas ini hadir bersama-sama, seseorang dapat memperoleh banyak pengetahuan. Namun, jika salah satu dari kedua sifat tersebut tidak ada, maka sifat ketakwaan akan berkurang, begitu pula dengan tingkat pengetahuan seseorang sesuai dengan apa yang hilang.

Pernyataan Ibnu Abbas ini juga merupakan bantahan terhadap para filsuf dan ateis tertentu yang menganggap bahwa bertanya adalah tujuan akhir dari ilmu. Mereka terus mengajukan banyak pertanyaan tetapi tidak berusaha benar-benar mencari jawaban.

Bahkan ketika jawaban diberikan, mereka tidak berusaha memahami maknanya; sebaliknya, mereka berusaha melemahkan jawaban tersebut dengan memunculkan pertanyaan tambahan yang tak terhitung jumlahnya, yang pada akhirnya melemahkan kekuatan dan koherensi dari jawaban asli.

Akar penyebab dari perilaku ini adalah karena hati mereka tidak memiliki pemahaman yang diperlukan untuk memungkinkan pengetahuan berakar, dan mereka tidak memiliki kepastian untuk menjangkarkan pengetahuan tersebut. Akibatnya, hati mereka dipenuhi dengan keraguan, kebingungan, kegelisahan, dan kontradiksi.

Menggunakan Teknologi secara Bijak

Orang tua dapat memanfaatkan momen-momen keingintahuan dan hasrat akan pengetahuan dan pembelajaran untuk membantu anak-anak mereka mengembangkan pemahaman yang lebih dalam dan lebih akurat tentang kehidupan dan ajaran Nabi.

Hal ini termasuk mendorong mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bijaksana, mengeksplorasi perspektif yang berbeda, dan mencari informasi yang kredibel. Nabi sendiri berkata, “Sebaik-baik kalian adalah mereka yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya.” (HR Bukhari)

Hadits ini menekankan pentingnya mencari ilmu dan membagikannya kepada orang lain, sebuah prinsip yang dapat diterapkan untuk mengajarkan anak-anak tentang Nabi di era digital. Jadi, bagaimana orang tua dapat lebih mudah memperkenalkan Nabi tercinta kita kepada anak di era konflik teknologi dan informasi ini?

Kuncinya terletak pada menggabungkan ajaran tradisional dengan alat-alat modern. Orang tua harus terlibat dengan anak-anak mereka dengan menggunakan teknologi secara bijak, baik melalui menonton video pendidikan yang disajikan oleh para ahli yang dapat dipercaya, membaca e-book interaktif, atau menjelajahi aplikasi yang dirancang untuk mengajarkan tentang Nabi dengan cara yang menarik. Di saat yang sama, orang tua harus memastikan bahwa informasi tersebut akurat dan berakar pada sumber-sumber Islam yang otentik.

Yang lebih penting lagi, orang tua harus menerapkan karakter Nabi Muhammad dalam kehidupan sehari-hari mereka karena anak belajar dengan meniru.

Mendidik Anak dengan Meneladani Nabi

Seiring bertambahnya usia anak-anak, terutama sekitar usia 6 atau 7 tahun, mereka mulai mengembangkan pemahaman tentang benar dan salah. Pada masa kritis inilah Nabi Muhammad SAW memberikan teladan sempurna untuk membimbing anak-anak dengan kelembutan dan kebijaksanaan.

Abdullah bin Amr bin ‘Ash meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda: “Yang Maha Pengasih (Allah SWT) menyayangi orang-orang yang penyayang. Jika kalian menyayangi orang-orang yang ada di bumi, Dia yang ada di langit akan menyayangi kalian.”(Sunan Abu Dawud)

Ketika Rasulullah melihat seorang anak melakukan kesalahan, beliau akan mengoreksinya dengan kebaikan dan pengertian, tidak mengomel dengan nada tinggi atau mempermalukan anak.

Umar bin Abu Salamah berkata: “Saya adalah seorang anak laki-laki yang berada di bawah asuhan Rasulullah, dan ketika tangan saya biasa berpindah-pindah di piring, beliau pernah berkata kepada saya, ‘Wahai anakku, sebutlah Nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang terdekat olehmu’”. (HR Bukhari Muslim dalam Musnad Ahmad)

Cara Rasulullah mengoreksi sikap Umar bin Abu Salamah yang sederhana ini tidak hanya membimbing sang anak, namun juga menanamkan nilai-nilai kesadaran dan etika, yang dilakukan dengan cara yang dapat menjaga harga dirinya.

Merenungkan perilaku Nabi Muhammad yang penuh kasih dan lembut terhadap anak-anak mengajarkan kita untuk menghindari tindakan yang dapat membuat Allah tidak senang dan merusak hubungan kita dengan anak-anak yang berada di bawah pengasuhan kita. Kasih sayang Nabi Muhammad kepada anak-anak digambarkan dengan indah dalam banyak tindakannya.

Sebagai contoh, beliau pernah mencium cucunya, Al-Hasan bin Ali, di hadapan Al-Aqra’ bin Habis At-Tamim. Al-Aqra’ berkata, “Saya memiliki sepuluh anak dan belum pernah mencium salah satu dari mereka.” Nabi Muhammad lantas memberi peringatan: “Barangsiapa yang tidak berbelas kasih kepada orang lain, maka ia tidak akan diperlakukan dengan penuh belas kasihan.” (HR Bukhari)

Hadits ini menggaungkan prinsip Al-Quran bahwa “Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat dengan orang-orang yang berbuat baik” (Al-A’raf:56), yang menunjukkan bahwa belas kasihan akan menghasilkan belas kasihan.

Interaksi Rasulullah SAW dengan anak-anak juga mengajarkan kita bahwa menunjukkan kasih sayang dan perhatian adalah bentuk ibadah dan kepatuhan terhadap Sunnah. Menunjukkan kasih sayang, menggendong dan memeluk bayi, serta mencium anak adalah sunnah. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi anak kecil dan tidak menghormati orang tua.” (HR Tirmidzi)

Anak-anak adalah sumber kegembiraan, rahmat, dan anugerah dari Allah. Mereka membawa berkah bagi keluarga mereka dan melembutkan hati yang paling keras sekalipun, seperti yang ditunjukkan oleh Rasulullah berulang kali.

Yang terpenting, kita harus mengasihi anak-anak kita karena mereka yang paling memahami bahasa kasih. Nabi Muhammad mencontohkan hal ini dalam banyak cara. Salah satunya, beliau akan mempersingkat shalatnya jika mendengar suara tangisan bayi, karena tidak ingin menyusahkan ibu dari bayi tersebut. Pada kesempatan lain, beliau salat dengan menggendong seorang anak, mengangkat anak tersebut ketika beliau berdiri dan meletakkan anak tersebut ketika beliau bersujud.

Perilaku lembut ini mencerminkan kasih sayang dan kepedulian beliau yang mendalam terhadap anak-anak, sesuai dengan tuntunan Al-Quran untuk “berbuat baik kepada orang tua, kerabat, anak yatim, dan orang-orang miskin” (Al-Quran 2:83).

Nabi Muhammad juga sangat toleran dan pemaaf terhadap kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan anak-anak. Beliau akan bermain dengan mereka, memberi mereka tumpangan di atas untanya, dan menyuapi mereka kurma. Beliau memahami bahwa anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang besar dan senang mengeksplorasi hal-hal baru.

Dalam setiap interaksinya, Rasulullah mencontohkan pentingnya kasih sayang, cinta, dan kesabaran kepada anak-anak. Dengan mengikuti teladan beliau, kita dapat mengajarkan anak-anak kita tentang karakter mulia beliau dan memastikan bahwa mereka tumbuh dengan rasa cinta yang mendalam, rasa hormat, dan hubungan yang erat dengan iman mereka. Al-Quran mengingatkan kita, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. Al-Ahzab: 21).

Mari kita wujudkan teladan ini dalam pendekatan kita dalam mengasuh anak-anak, saat kita membimbing mereka dengan kasih sayang dan kebijaksanaan yang sama seperti yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW.*

Sumber Klik disini

Read more

Local News