Dukungan Rusia dan Iran terhadap Rezim Bashar al-Assad tak mampu membendung gelombang perlawanan rakyat, setelah hilangnya lebih 500.000 nyawa sejak revolusi Suriah tahun 2011, apa pengaruhnya bagi Baitul Maqdis
Oleh: Pizaro Gozali Idrus
Hidayatullah.com | HARI Ahad 8 Desember 2024 menjadi hari bersejarah bagi bangsa Suriah. Jatuhnya rezim Bashar Assad menandai berakhirnya penindasan terhadap rakyatnya pasca Revolusi Suriah sejak 2011.
Para pejuang oposisi Suriah secara resmi mengumumkan telah merebut ibu kota Damaskus dan jatuhnya rezim al-Assad, lansir Al-Jazeera.
“Tiran Bashar al-Assad telah melarikan diri,” kata oposisi bersenjata dalam sebuah pernyataan. “Kami menyatakan Damaskus bebas dari tiran Bashar al-Assad.”
Para pejuang oposisi Suriah sebenarnya pada Sabtu telah memasuki wilayah Damaskus yang menjadi sentral kekuatan rezim Bashar Assad.
Dalam laporan Clash Report, para pejuang diinformasikan hanya berjarak 6,5 kilometer dari Istana Kepresidenan Assad yang semakin membuat pemimpin rezim Suriah itu hampir jatuh.
Sementara para pejuang oposisi yang dipimpin Hay’at Tahrir Syam (HTS) telah membebaskan provinsi Aleppo, Hama, dan Homs dan bergerak menuju Damaskus.
Mereka juga telah membebaskan lebih dari 10.000 tahanan politik yang ditahan di penjara-penjara rezim Assad di berbagai wilayah.
Di tengah kepemimpinan Assad yang kian terpuruk, Rusia dan Iran telah meminta adanya negosiasi politik antara kelompok oposisi dan Assad. Sebuah tawaran yang sudah sangat terlambat mengingat kekejaman yang dilakukan Assad yang telah menewaskan 500.000 jiwa sejak pecah revolusi Suriah pada 2011 lalu.
Apa yang terjadi di Suriah dalam dua pekan ini adalah titik puncak kemarahan publik atas terus dilakukannya penindasan oleh Assad.
Awal mula krisis Suriah berasal suatu protes atas penangkapan beberapa pelajar di kota kecil Daraa. Maret 2011, para pelajar berumur 9-15 tahun menulis slogan anti pemerintah pada dinding-dinding kota.
Sekelompok remaja itu menuliskan grafiti diantaranya bertuliskan: “Sebentar lagi giliran Anda Dokter…” yang ditujukan kepada Presiden Bashar Al-Assad yang seorang dokter spesialis mata, yang sejak tahun 2000 mewarisi kekuasaan ayahnya Hafez Al-Assad, yang berkuasa selama 30 tahun.
Tanggal 29 April 2011, terjadi sebuah demonstrasi besar menuntut “kebebasan dan keadilan” dilakukan oleh ratusan orang di kota Daraʼa.
Aparat bersenjata menyerang demonstrasi itu, dan menangkap 51 orang. Di antara yang ditangkap adalah seorang anak lelaki berusia 13 tahun bernama Hamzah Al-Khatib.
Orang tua Hamzah Al-Khatib meminta aparat melepaskan anaknya. Permintaan itu ditolak. Beberapa hari kemudian anak itu dikembalikan kepada orang tuanya sudah menjadi jenazah. Tubuhnya dipenuhi bekas-bekas siksaan.
Pembunuhan terhadap Hamzah memicu gelombang demonstrasi yang lebih besar di Daraʼa. Sebuah gerakan rakyat yang kemudian dijawab dengan penembakan, pembunuhan, penangkapan, dan penyiksaan yang berskala lebih luas.
Aparat rezim Bashar Al-Assad menganggap cara-cara kekerasan dan kebrutalan yang dipakai untuk menebar ketakutan di kalangan rakyat masih bisa efektif memadamkan kemarahan.
Namun, perkiraan mereka meleset. Tindakan tersebut tidak menghentikan pertikaian, namun justru berujung pada permasalahan yang pelik dari Deraa ke kota-kota pinggiran Latakia dan Banyas di Pantai Mediterania, Homs, Hama, Ar Rasta serta Deir Zor.
Sejak saat itu, kekerasan demi kekerasan tak pernah sepi dari apa yang dirasakan rakyat Suriah. Jutaan warga Suriah mengungsi ke Turki, Lebanon, Yordania dll. Hingga pada November 2024, mereka bergerak bersama untuk melakukan perlawanan. Di tengah dukungan dari Rusia, Iran, dan Hizbullah yang melemah.
Mereka melakukan perlawanan tak lama setelah Hizbullah-Israel melakukan gencatan senjata dan bukan saat mereka berperang, agar fitnah gerakan rakyat Suriah sebagai corong kepentingan Zionis dapat dengan mudah mereka patahkan.
Rezim Assad yang selama ini mampu bertahan berkat intervensi Rusia dan Iran, jelas tak mampu membendung gelombang perlawanan rakyat. Di kota-kota Aleppo, Hama, Homs, Damaskus, kedatangan para oposisi disambut oleh warga yang sudah jengah atas penindasan rezim Assad.
Patung Hafez Assad yang telah membantai ribuan warga Suriah di Hama pada 1982 diturunkan di berbagai kota. Poster-poster Bashar Assad juga dirobek sebagai simbol kemerdekaan warga dari rezim tiran.
Apa yang terjadi di bumi Suriah adalah angin segar dari tuntutan hak dan demokratisasi warga Suriah. Hay’at Tahrir Syam yang selama ini dianggap kelompok radikal mampu berbaur dengan warga dan menjamin hak-hak minoritas Suriah seperti Druze, Kurdi, Alawiyah, dan warga Kristen.
Ini adalah kemenangan rakyat Suriah. Kemenangan perjuangan rakyat bersama kelompok pejuang yang terus berjuang meski mereka mengalami penindasan.
Para pejuang piun memuji kejatuhan rezim Assad sebagai “momen kebebasan setelah puluhan tahun penuh penderitaan”.
“Bagi warga Suriah di seluruh dunia, Suriah menanti Anda,” kata oposisi Suriah dalam pernyataannya.
Masa depan Baitul Maqdis
Melihat para pejuang oposisi membebaskan provinsi-provinsi Suriah dalam satu pekan ini, teringat bagaimana sikap Panglima Muhammad Al-Fatih saat membebaskan Konstantinopel. Tak ada minoritas yang disakiti dan dipersekusi.
Di Suriah, para kelompok oposisi mengeluarkan edaran jaminan bagi hak-hak kelompok minoritas. Di Aleppo, warga Kristen mengaku mereka diperlakukan dengan baik oleh Hay’at Tahrir Syam (HTS).
Di Salamiyah (Hama), yang merupakan basis minoritas Alawiyah, kedatangan para oposisi disambut. Di Tel Rifaat, etnis minoritas Kurdi juga bersuka cita dapat kembali ke rumah-rumah mereka setelah wilayahnya dibebaskan oposisi dari kelompok terror PKK/YPG yang selama ini didukung oleh AS, Israel dan Assad.
Apakah ini fenomena baru karena mereka ingin mendapatkan simpati publik? Sepertinya tidak.
Sejak 2018, umat Kristen di wilayah Idlib telah dapat merayakan hari raya keagamaan mereka seperti Paskah atau Natal dengan damai walaupun berada dalam kekuasaan kelompok pejuang Muslim.
“Selama ini, HTS telah membuka diri terhadap minoritas agama. Hak-hak mereka (minoritas) telah meningkat pesat,” kata Jerome Drevon, analis International Crisis Group.
Para kelompok perlawanan Suriah sudah mengumumkan dan memanggil para muhajirin di berbagai belahan dunia untuk kembali pulang.
Sampai hari ini ada sekitar 5,3 juta warga Suriah mengungsi di Turkiye. Sebagian sudah mulai masuk lewat Bab el Hawa/perbatasan Idlib setelah jatuhnya Rezim Bashar.
Perlu diketahui, Suriah, adalah salah satu komponen penting dalam pembebasan Baitul Maqdis. Menurut Teori Geopolitik “Lingkaran Barakah Baitul Maqdis”, oleh Prof. Dr. Abd. Al-Fattah El-Awaisi, yang juga pendiri Islamic Jerussalem Research Academy (ISRA) Ankara, Turki, bahwa Bumi Syam –salah satunya Suriah—dan Mesir, berpengaruh dalam pembebasan Baitul Maqdis.
Menurut Prof Al-Fattah dalam -Teori Lingkaran Barakah Baitul Maqdis– dalam Surat al-Isra’ ayat pertama. Kawasan Baitul-Maqdis berada pada poros lingkaran pertama, kawasan Mesir dan Syam pada lingkaran kedua, serta kawasan Iraq, Turki, dan Hijaz pada lingkaran ketiga.
Semoga, perkembangan baru di Syam ini menjadi kabar menggemberikan berikuta dalam pembebasan Baitul Maqdis. Wallahu a’lam.*
Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue. Kandidat PhD pada Center for Policy Research USM Malaysia. Direktur Eksekutif Baitul Maqdis Institute
Sumber Klik disini