fbpx
Selasa, 15 Oktober 2024

Mossad Tak Secanggih yang Dibayangkan

Share

Gagalnya Mossad –yang diklaim intelijen paling wahid—dalam menangkal serangan pejuang milik Hamas tidak lepas dari kesombongan penjajah ‘Israel’ yang telah mendewakan dirinya pemenang perang melawan Palestina

Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi  https://dakwah.media/

Oleh: Pizaro Gozali

Hidayatullah.com | SERANGAN Hamas pada tanggal 7 Oktober 2023 terhadap militer kolonialis ‘Israel’ tidak diragukan lagi merupakan peristiwa bersejarah dan akan dikenang selama beberapa generasi mendatang.

Badan intelijen ‘Israel’ Mossad, yang selama ini dielu-elukan sebagai organisasi mata-mata tercanggih di dunia, ternyata berhasil dikelabuhi Hamas. Peralatan intelijen dan pengawasan Mossad yang banyak digembar-gemborkan gagal total menangkal serangan Hamas.

Dalam realitanya, Operasi Taufan Al-Aqsha berhasil melumpuhkan markas komando militer kolonial ‘Israel’ di perbatasan Gaza, meghancurkan tank-tank, merampas peralatan militer, dan menewaskan ratusan para tentara, dan menyandera banyak perwira.

Tiga puluh enam jam setelah serangan Brigade Izzuddin Al-Qassam, sayap militer Hamas, Menteri Keamanan kolonial ‘Israel’ Itamar Ben-Gvir akhirnya muncul di tengah publik menyerukan kehancuran total Hamas sambil mencoba mengalihkan perhatian masyarakat dari kegagalannya.

“Negara ‘Israel’ sedang mengalami salah satu peristiwa tersulit dalam sejarahnya. Ini bukan waktunya untuk bertanya, menguji, dan menyelidiki,” ujarnya.

Strategi militer Hamas

Penulis melihat ada dua hal di balik kesukesan Hamas mengelabuhi intelijen dan militer penjajah. Ini tentu sangat menarik.

Bagaimana mungkin Hamas yang hanya menguasai wilayah kecil Gaza seluas 365 KM persegi (atau hanya setengah Jakarta) berhasil menaklukan pasukan kolonialis Israel yang didung polisi dunia dengan uang dan persenjataan canggihnya.

Pertama, terjadinya transformasi militer Al-Qassam. Harus diakui Hamas bukanlah gerakan Islam tradisional. Mereka telah berkembang menjadi gerakan Islam modern yang memiliki kader-kader ahli tidak hanya pada tataran keagamaan tapi juga saintis, teknokrat, dan ahli militer.

Hamas memiliki beragam persenjataan yang dibangun selama bertahun-tahun. Britain’s International Institute for Strategic Studies (IISS) menyebut Brigade Al-Qassam memiliki anggota sekitar 15.000. Dalam versi lain, ada yang menyebutnya 40.000 milisi.

Tak hanya itu Hamas pun berhasil membuat persenjataan made in local seperti; drone, ranjau, peluru kendali anti-tank dan lain sebagainya. Mayoritas roketnya juga diproduksi secara lokal, meski belum sempurna secara teknologi.

Meski Mossad dan intelijen ‘Israel’ kerap disebut sebagai organisasi militer yang sangat unggul, fakta menunjukkan situasi sebaliknya.

Kedua, kematangan strategi militer Hamas. Majalah Economist pada (9/10) menurunkan tulisan menarik yang berjudul: Hamas’s attack was an Israeli intelligence failure on multiple fronts. Media berbasis di Inggris itu mengulas lebih jauh bagaimana kehebatan operasi militer Hamas Hamas yang berhasil melumpuhkan kekuatan militer penjajah.

Economist mengatakan Hamas melancarkan operasi militer seperti yang tertera dalam buku teks perang. Mereka memulai serangan secara hati-hati terhadap sensor dan komunikasi militer ‘Israel’.

Banyak kamera pengintai ‘Israel’ menjadi sasaran penembak jitu dan berhasil dinonaktifkan oleh Hamas.

Perang perangat elektronik juga terlibat dalam operasi Hamas. Serangan komando terhadap markas besar komando ‘Israel’ di Gaza selatan mengganggu komunikasinya dan mencegah para komandan mengeluarkan sinyal peringatan.

Selanjutnya, puluhan kendaraan dan ratusan personel militer Hamas bergerak menerobos pagar perbatasan yang dibangun penjajah. Serangan tersebut juga memanfaatkan apa yang disebut oleh militer sebagai perang senjata gabungan: salvo roket besar-besaran saat fajar, pergerakan militer di darat, peﷺat tempur yang menggunakan peﷺat layang bertenaga, dan serangan melalui jalur laut.

Korban tewas pihak ‘Israel’ telah mencapai 1.400 orang dan jumlah orang yang diculik dan ditahan di Gaza mencapai lebih dari 224 orang. The New York Times melaporkan bahwa intelijen ‘Israel’ mengeluarkan peringatan khusus kepada penjaga perbatasan segera sebelum serangan, menandai adanya lonjakan aktivitas, namun peringatan tersebut tidak diindahkan karena alasan yang tidak jelas.

Ini terjadi di tengah perang asimetris antara militer Hamas dengan pasukan kolonial, di mana, menurut IISS, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) berjumlah 169.500, 126.000 di antaranya adalah tentara, mempunyai 400.000 tentara cadangan, pertahanan berteknologi sistem anti-rudal “Iron Dome”, 1.300 tank, 345 jet tempur dan persenjataan artileri, drone, dan kapal selam canggih.

Namun semuanya itu kini hanya tinggal barisan angka yang sepenuhnya gagal total mencegah manuver militer Hamas.

Kesombongan kolonial

Sejatinya gagalnya Mossad dalam menangkal serangan Hamas tidak lepas dari kesombongan kolonial yang telah mendewakan dirinya sebagai pemenang perang melawan Palestina.

Hamas mengambil keuntungan dari persepsi ini yang secara bertahap melaksanakan rencana serangannya, mulai dari membuat roket yang ditembakkan ke kota-kota ‘Israel’ hingga merobohkan pagar yang memisahkan Gaza dari ‘Israel’.

Profesor Hukum Internasional Queen Mary University of London, Neve Gordon, mengatakan unit-unit intelijen beroperasi berdasarkan paradigma kolonial yang salah, yakni menganggap Hamas lemah dan kurang memiliki ketajaman strategis, sehingga mereka gagal mengindentifikasi kekuatan Hamas yang sesungguhnya.

Beberapa pekan sebelum serangan Hamas, Perdana Menteri ‘Israel’Benjamin Netanyahu sesumbar bahwa dunia Arab sudah memasuki era baru dengan melakukan rekonsiliasi dengan penjajah.

Netanyahu menganggap bahwa sudah tidak ada lagi perlawanan berarti dari kelompok kemerdekaan Palestina untuk melawan agresi ‘Israel’.

Namun, fakta yang terjadi jauh dari ucapan kepongahan Netanyahu. “Operasi Taufan Al-Aqsha” adalah cara Hamas mengintrupsi dunia global bahwa perjuangan kemerdakaan Palestina belum mati di atas pesta pora normalisasi negara-negara Timur Tengah dengan kolonialis Israel.

Di tengah keputusasaan, militer ‘Israel’ kini menebar selebaran di Jalur Gaza yang isinya, siapa saja yang bisa memberi informasi mengenai keberaraan sandera yang ditahan Hamas dan pejuang lainnya akan mendapat perlindungan dan hadiah.

Selebaran itu juga mencantumkan nomor telepon yang dapat dihubungi untuk memberikan informasi. Namun warga Gaza mengumpulkan selebaran tersebut kemudian merobeknya, sebagai bentuk dukungan mereka terhadap kelompok pejuang Palestina.

Hingga kini, masih belum jelas berapa lama lagi perang akan berlanjut. Namun satu hal yang pasti: Palestina telah menunjukkan kepada dunia bahwa mereka mahir dalam melemahkan kekuatan militer yang jauh lebih kuat dan lengkap.*

Penulis adalah Senior Fellow Asia Middle East Centre for Research and Dialogue, Kuala Lumpur. Kandidat Ph.D pada bidang Policy research and International Studies, Universiti Sains Malaysia

Sumber Klik disini

Tinggalkan Balasan

Table of contents

Read more

Berita lainnya