Rabu, 11 Desember 2024

Jalan Panjang Dai Tempaan Alam

Share

“Pergi, jangan menginap di sini!” hardik pengurus mushalla kepada dua orang pemuda yang baru saja merebahkan badannya karena letih. “Ke Pasar Pagi saja dan cari tempat istirahat di sana!”

Dua pria yang dihardik itu adalah Hasan Suradji dan Suwardhany Soekarno, dai dari Pesantren Hidayatullah Balikpapan (Kaltim). Keduanya diberi amanah membina warga Muslim yang tinggal di kawasan pedalaman Kalimantan.

Seperti halnya dai Hidayatullah lainnya yang baru “terjun bebas”, setiap kali memasuki tempat tugas baru dan belum memiliki kenalan, maka masjid atau mushalla merupakan alamat utama yang dituju.

Sore itu, setelah menempuh perjalanan sejauh 100 kilometer naik angkutan umum dan perahu ketinting menyeberangi sungai Mahakam, mereka memutuskan istirahat sejenak di emperan mushalla di bilangan Jalan Panglima Butur, Samarinda. Ya, istirahat untuk mengumpulkan tenaga karena perjalanan lanjutan masih 6 kali lipat jauhnya. Untung tak dapat diraih, keduanya justru diusir.

Pagi usai shalat Subuh, mereka berangkat ke kota Tenggarong. pintu gerbang sebelum masuk ke kawasan pedalaman. Dengan tingkat percaya diri yang tinggi, mereka lalu melapor kepada Bupati Kutai saat itu, Drs. Ahmad Dahlan.

Di luar dugaan, setelah mendengar mereka utusan dari Hidayatullah yang akan membina masyarakat pedalaman, Bupati menyambutnya dengan antusias. Keduanya bahkan diberi uang saku sebesar Rp 20.000,- “Alhamdulillah karena kami memang sudah kehabisan ongkos,” kata Hasan.

Bekal Malaria

Ketika hendak meninggalkan Pesantren Hidayatullah, kedua anak muda ini tidak sempat bertanya mengapa harus ditugaskan ke pedalaman. Mereka tak pernah meminta penjelasan kepada Ustadz Abdulllah Said -pimpinan pesantren- tentang apa nilai strategisnya mengurusi masyarakat terasing yang tinggal jauh di belantara.

Apalagi kala itu Hasan masih berstatus pengantin baru dan harus meninggalkan istri selama berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Sungguh berat bagi siapapun.

Tapi bagi kader dakwah seperti Hasan dan Suwardhany, tidak ada alasan untuk bersilat lidah apalagi membantah.”Kami samina wa athana. Ini adalah tugas mulia me-landing-kan Islam di pedalaman, kata pria yang selalu riang ini.

Dari Tenggarong, mereka bersiap-siap melakukan perjalanan panjang ke belantara Kalimantan. Dengan menggunakan kapal berukuran kecil pengangkut barang-barang dagangan, mereka menelusuri Mahakam melalui kota kecamatan kecil seperti Kotabangun, Muara Pahu, Melak, dan Long Iram. Shalat berjamaan diakukan di atas kapal sambil duduk, di antara tumpukan barang dan penumpang.

Perlu waktu satu minggu untuk menempuh tiga tempat itu. Palahal tujuannya adalah Long Krohong, yang harus ditempuh sekitar satu minggu lagi. Masih dengan kapal yang sama, mereka menempuh perjalanan melewati Muara Kelian, Datah Bilang, Memahak Ilir, Memahak Ulu, Long Bagun Ilir, Long Bagun Ulu, lalu Long Pahangai, desa terdekat Long Krohong.

Saat di Long Iram, Suwardhany kena penyakit malaria yang cukup parah dan dirawat di Puskesmas. Dari pembaringan, dai yang kelak berkesempatan ceramah di Kedubes Indonesia di London (Inggris) ini mengirim surat kepada Abdullah Said. Isinya antara lain:

“Kiranya kami didoakan karena siapa tahu tinggal nama yang kembali, medannya cukup berbahaya. Tempat kami mengirim surat ini adalah kantor pos yang terakhir dan kami masih akan meneruskan perjalanan ke hulu yang medannya lebih rawan daripada yang telah dilewati.”

Dalam satu kesempatan membina masyarakat Muslim di Long Pahangai, mereka juga sempat terseret oleh arus jeram yang kencang. Untung perahu yang mereka tumpangi tersangkut di WC milik penduduk. “Alhamdulillah, kalau tidak nyangkut WC, boleh jadi kami benar-benar pulang hanya tinggal nama saja,” kenang Hasan.

Berburu

Jauh-jauh dari Balikpapan, ternyata sampai di lokasi Hasan tidak bisa langsung berceramah. Warga dikumpulkan bukan untuk mendengarkan pengajian, tetapi diajak berburu bersama.

Bersama puluhan warga setempat yang membawa mandau, tombak, sumpit, dan golok, Hasan mengendap-endap mengintai rusa hutan di malam buta. Malam itu benar-benar malam yang meleng kapi keletihan fisik Hasan setelah menempuh perjalanan yang panjang.

Namun keletihan Hasan terhibur manakala menyadari dirinya sedang berada di tengah-tengah orang yang hebat dalam mempertahankan akidah. Kendati sudah bertahun-tahun hidup dalam ketiadaan pembinaan, mereka masih bertahan dalam iman Islam. Padahal tidak kurang-kurangnya para zending menggoda mereka agar murtad.

Bahkan, kata Hasan, mereka memiliki kelebihan dibandingkan dengan penduduk yang non-Muslim, “Mereka sudah tidak makan babi, tidak makan binatang melata, dan anjing hanya ditempatkan di perladangan,” terang suami dari Asma ini.

Tiga bulan lamanya Hasan melakukan pembinaan, di Long Krohong ini, tepatnya pada Oktober-Desember 1975. Setelah itu, ia ditarik kembali ke Balikpapan.

Menjelajah Papua

Rupanya tugas di pedalaman Kalimantan itu masih bersifat “ujicoba”. Selanjutnya Hasan ditugaskan ke lokasi-lokasi yang kian menantang. Berturut-turut ia ditugaskan ke Toli-toli (1984), Tanah Grogot (1986), serta Tarakan (1989). Ketika di Tarakan, Hasan sekaligus mempersiapkan perintisan pesantren di Bulungan dan Nunukan, sebuah kawasan dekat negeri jiran Malaysia.

Tahun 1998 Hasan mendapat SK untuk menaklukkan Bumi Cenderawasih, Papua. “Semua tempat menantang, tapi inilah medan dakwah yang paling berat,” aku santri awal Pesantren Hidayatullah Balikpapan ini.

Saat itu sarana transportasi ke Papua sangat sulit. Kapal Pelni baru masuk satu-dua. Dan yang pasti, ada penyakit “wajib” yang harus diterima orang yang tinggal di sana, yakni malaria. Itu pula yang akhirnya diderita Hasan dan kelima anaknya yang masih kecil, sejak bulan pertama tinggal di Papua.

Tujuh tahun lamanya Hasan berjibaku di Papua bersama puluhan da’i yang diamanahi untuk “menaklukkan” kawasan timur Indonesia ini. Hasan kemudian menjadi Koordinator Wilayah Hidayatullah Irian Jaya dan Irian Jaya Barat yang meliputi wilayah Sorong, Wamena, Serui, Nabire, Fak-Fak, Jayapura, Manokwari, dan Biak.

Amanah sebagai koordinator mengharuskannya keliling ke daerah-daerah. Kadang berbulan-bulan Hasan baru bisa kembali ke rumah. Maklum, sarana transportasi begitu sulit. Bila dana cukup maka pesawat terbang manjadi pilihan. Namun dana lebih sering terbatasnya sehingga harus naik kapal Pelni atau kapal perintis yang memakan waktu lebih lama.

Apa resep Hasan agar senantiasa “tabah” berpindah-pindah tugas? Sungguh bukan hal mudah, apalagi tentu ini juga dirasakan oleh istri dan anak-anaknya. “Spirit nubuwwah, itulah kuncinya!” jelas lelaki kelahiran Balikpapan ini.

Maksud Hasan, semangat nubuwwah adalah berpegang kepada nilai-nilai kebenaran yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bekal hidup dan perjuangan.

Beruntung, Hasan memiliki istri yang selalu memberinya semangat. Istri yang paham akan tugas dan kewajiban suami, serta siap mengikuti kemanapun ditugaskan. Istri yang senantiasa siap menjadi madrasah dan pendidik bagi anak-anaknya.

“Kalau Ustadz bepergian, pesan utamanya agar saya menjaga anak-anak, mengingatkan waktu shalatnya, menjaga komunikasi di antara anggota keluarga, serta menghadapi masalah dengan kepala dingin dan santai,” ujar Asma, sang istri yang dinikahi tahun 1975.

Hasan Suradji lahir di Balikpapan, 8 Oktober 1952. la menempuh pendidikan SD, SMP, dan STM di kota kelahiran. Di tengah-tengah masa studinya itulah ia banyak berinteraksi dengan Abdullah Said, pendiri Pesantren Hidayatullah. Hasan mengaku tertarik dengan kepiawaian da’i muda itu.

Awalnya Hasan mengikuti training keislaman secara intensif yang diadakan oleh Abdullah Said, seperti kursus mubalighin-mubalighat (1970), kuliah agama (1971), dan Training Centre Darul Arqam (1972). Dari kegiatan tersebut ia bersama kawan-kawannya di bawah arahan Abdulah Said mencanangkan pendirian sebuah pesantren, atas dasar tanggung jawab keummatan dan menyebarluaskan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil’alamin.

Hasan adalah salah satu saksi dan pelaku sejarah berdirinya Pesantren Hidayatullah. Mulai dari masa perintisan di Gunung Sari, kemudian pindah ke Karang Rejo, Karang Bugis, sampai akhirnya mendapat tanah hibah di luar kota Balikapapan, yaitu di wilayah Teritip, yang kini menjadi kampus pusat Pesantren Hidayatullah.*


Melalui program literasi 1.000 majalah untuk guru ngaji dan da’i, kita semua dapat mendukung para da’i dan guru ngaji dengan memperkuat literasi mereka. Dukungan Anda akan menjadi bagian penting dalam perjalanan panjang membangun masa depan dakwah yang lebih cerah di seluruh pelosok negeri.

Mari ambil bagian dalam program literasi ini dan bantu hadirkan 1.000 majalah untuk para da’i dan guru ngaji di seluruh penjuru Nusantara.

Dukung gerakan Journalism4Ummah untuk mengangkat suara umat, memperkuat literasi da’i dan guru ngaji, dan mengawal isu keumatan dengan konten yang bermakna, berdampak, dan relevan.
info lengkap: https://bit.ly/3ZQR3ia

Baca juga: Berpacu melawan Misionaris

Sumber Klik disini

Tinggalkan Balasan

Read more

Berita lainnya