Menjadi hamba Allah SWT sejati tak bisa dicapai dengan usaha ala kadarnya. Penghambaan kita akan terbuktikan jika ada pengorbanan yang mengiringinya.
Yang pasti, setiap pengorbanan akan tergantikan. Bahkan Allah SWT sangat kuasa melipatgandakan nilai pengorbanan. Motivasi ini penting, agar kita tak ragu dalam berkorban demi terlaksananya tugas-tugas sebagai hamba Allah.
Syarat Qurban
Pada bulan Dzulhijjah ini Allah SWT kembali menawarkan beragam amalan yang memiliki nilai yang sangat tinggi. Salah satunya adalah berqurban, menyembelih sapi, kambing, atau unta pada tanggal 10, 11, 12, dan 13 dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya.
Seperti halnya ibadah yang lain, selalu ada syarat dalam pelaksanaannya. Penetapan syarat hakikatnya adalah isyarat bahwa ibadah tidak bisa dikerjakan asal-asalan. Setiap ibadah membutuhkan keseriusan, kesungguhan, bahkan pengorbanan.
Dari al-Barra’ bin Azib RA, Rasulullah SAW berdiri (seraya memberi isyarat dengan jemarinya) dan jemariku lebih pendek daripada jemarinya lalu bersabda, “Ada empat cacat yang tidak boleh dalam hewan qurban: buta sebelah matanya dan jelas butanya, sakit dan jelas sakitnya, pincang dan jelas pincangnya, dan sangat kurus sampai-sampai tidak punya sumsum tulang.” Al-Barra’ mengatakan, “Apapun ciri binatang yang tidak kamu sukai, maka tinggalkanlah dan jangan haramkan untuk orang lain.” (Riwayat an-Nasa’i dan Abu Daud).
Pada Hadits di atas, Rasulullah SAW menjelaskan kriteria minimal hewan ternak yang bisa diqurbankan. Ada empat kriteria utama, yaitu:
Pertama, selamat dari cacat berupa buta sebelah yang nampak. Dikatagorikan buta yang nampak jika orang yang melihatnya mengetahui bahwa hewan tersebut benar-benar buta sebelah matanya.
Ada dua ciri mata hewan yang buta, yaitu matanya menonjol keluar, atau sebaliknya tenggelam sehingga matanya tidak terlihat. Jika ciri kebutaan jelas seperti itu, maka tak memenuhi syarat. Adapun jika sebatas tidak melihat tapi tidak kentara kebutaannya, maka dibolehkan. (Fathudzil-Jalali wal-Ikram, 6/80).
Kedua, tidak sakit dan nampak sakitnya. Katagori sakit yang nampak adalah sakit yang membuat hewan itu tidak semangat dalam mencari makanan sehingga tubuhnya menjadi kurus. (Minhatul-Allam Syarah Bulughul-Maram, 9/288).
Ketiga, tidak pincang dan nampak pincangnya. Katagori pincang dan nampak pincangnya adalah yang mempengaruhinya dalam mencari makanan.
Imam Syafi’i berkata, “Jika ia telat berjalan karena pincangnya, maka itu adalah pincang yang nampak.” (Subulussalam, hal 1151).
Keempat, bukan hewan yang sangat kurus sehingga tidak lagi tersisa sumsum pada tulangnya. Masuk pula pada ciri yang keempat adalah hewan yang sangat tua sehingga tidak memiliki sumsum.
Jika cacat yang tersebutkan dalam Hadits itu tidak nampak, maka sah dijadikan sebagai hewan qurban. Menurut Ibnu Rusyd, para ulama telah sepakat jika aib yang empat dalam katagori ringan, maka tidak mempengaruhi keabsahan hewan qurban.
Adapun jika cacatnya lebih parah dari yang empat itu, maka jumhur ulama memasukkannya dalam penghalang keabsahan. Sedangkan cacat yang selevel dengan itu dalam hal berkurangnya harga hewan qurban, maka dari kalangan Mazhab Maliki juga tidak mensahkannya. (Bidayatul-Mujtahid, 2/528-529).
Sedangkan yang lebih ringan dari cacat di atas maka boleh diqurbankan meskipun dimakruhkan. Seperti terpotong sebagian telinganya atau patah tanduknya. Cacat seperti ini tidak sampai menghalangi sahnya hewan qurban. (Shahih Fiqhus-Sunnah, 2/373).
Dari penjelasan di atas bisa diambil kesimpulan bahwa hewan qurban hendaknya hewan yang terbaik.
Kunci Sukses Ibadah
Hadits di atas selain menjelaskan persoalan fiqih, secara tersirat juga menyampaikan pesan pentingnya pengorbanan maksimal dalam menjalankan perintah Allah SWT. Terkadang tidak mudah mendapatkan hewan dengan kriteria yang sempurna. Tapi jika ada semangat berqurban, maka setiap rintangan akan mudah teratasi.
Apalagi perintah itu adalah sarana mendekatkan diri kepada-Nya. Mendekat kepada Allah tidak bisa dengan sekadarnya.
Kata Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin, “Tidak sepantasnya seseorang mendekatkan diri kepada Allah dengan sesuatu yang ada cacatnya.” (Syarah Bulughul-Maram, 5/278).
Oleh karenanya, dalam setiap ibadah, spirit berqurban tak boleh ketinggalan. Tak mungkin ibadah ditunaikan secara maksimal jika masih pelit dalam berkorban.
Setiap ibadah menuntut pengorbanan. Orang yang meninggalkan ibadah tertentu tanpa uzur seringkali penyebabnya karena lemahnya semangat berkorban.
Para Sahabat tak henti melatih diri untuk gemar berkurban. Beragam cara yang mereka tempuh.
Ibnu Umar RA misalnya, jika takjub pada sesuatu yang dimilikinya, maka ia segera menyedekahkannya. Kenapa? Karena beliau ingin membiasakan hatinya cinta pada pengorbanan.
Nilai suatu ibadah tidak selalu identik dengan besar dan jumlahnya. Nilainya seringkali ditentukan oleh pengorbanan yang menyertainya.
Suatu ketika Rasulullah SAW pernah menyampaikan sedekah satu dirham bisa mengalahkan seratus ribu dirham. Lalu ada yang bertanya, “Bagaimana itu bisa terjadi, wahai Rasulullah?” Beliau jelaskan, “Ada seorang yang memiliki dua dirham lalu mengambil satu dirham untuk disedekahkan. Ada pula seseorang memiliki harta yang banyak sekali, lalu ia mengambil dari kantongnya seratus ribu dirham untuk disedekahkan.” (Riwayat an-Nasa’i no 2527 dan Imam Ahmad 2: 379).
Jadi, jangan pernah ragu untuk berkorban, selama pengorbanan itu untuk menunjang ibadah. Pengorbanan semacam ini akan menjadi sumber kebahagiaan, baik di dunia apalagi di akhirat.
Semoga momentum Idul Qurban kali ini semakin mempertajam semangat kita dalam berkorban.* Ahmad Rifai, pengajar di Pesantren Hidayatullah Balikpapan. (Sumber: Majalah Suara Hidayatullah)
Sumber Klik disini