Peranan Muhammadiyah dalam perjuangan kemerdekaan dengan “Amanat Jihad”-nya, harusnya diakui sejajar dengan peran-peran jihad lainnya, seperti Resolusi Jihad KH. Hasyim Asy’ari
Hidayatullah.com | SETIAP TANGGAL 22 Oktober selalu diperingati Hari Santri, sebagai wujud penghormatan atas peran ulama dan santri dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Selama ini, sebagian besar narasi publik umumnya lebih mengenal Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagai landasan perjuangan umat Islam pada masa penjajahan.
Padahal selanin NU, ada juga peran Muhammadiyah, terutama dalam merespons tuntutan zaman dengan gerakan jihadnya, tak kalah berpengaruh dan tak bisa diabaikan.
Muhammadiyah juga pernah mengeluarkan “Amanat Jihad” pada 1946, menjadi landasan perjuangan yang teguh, menyiratkan tekad organisasi ini untuk menegakkan kemerdekaan Indonesia dengan komitmen total.
Muhammadiyah sejak awal kemerdekaan memiliki pandangan yang jelas dalam mendukung Republik Indonesia yang baru lahir. Di bawah kepemimpinan Ki Bagus Hadikusumo, Muhammadiyah aktif melibatkan diri dalam perjuangan revolusi fisik melawan penjajah Belanda.
Sebagai ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dari tahun 1942 hingga 1953, Ki Bagus Hadikusumo memainkan peran penting dalam perumusan dasar negara, bersama tokoh-tokoh pendiri bangsa lainnya.
Tak hanya itu, selama periode Revolusi Fisik, ketika ibu kota negara dipindahkan ke Yogyakarta pada 3 Januari 1946, Muhammadiyah turut mendukung perjuangan mempertahankan kemerdekaan dengan basis gerakannya yang tetap di Yogyakarta, kota yang menjadi pusat perlawanan rakyat Indonesia.
Saat Belanda melancarkan Agresi Militer I pada 21 Juli 1947, Muhammadiyah melalui tokoh-tokohnya mengambil sikap konkret dengan membentuk Angkatan Perang Sabil (APS).
Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hadjid sebagai ketua, KH. Ahmad Badawi sebagai wakil ketua, KH. Mahfudz sebagai imam, serta Ki Bagus Hadikusumo sebagai penasihat.
Struktur APS dipenuhi oleh tokoh Muhammadiyah dari Kauman, yang memberikan dukungan nyata dalam perang melawan penjajah. APS kemudian menjadi kekuatan penting di masa Agresi Militer II, meski banyak pejuang Muhammadiyah yang gugur, seperti Zuhri (putra Ki Bagus Hadikusumo), Wilda (putra KH. Moechtar), Djarid (putra KH. Hadjid), dan beberapa tokoh lainnya yang mengorbankan nyawa demi kedaulatan negeri.
Pimpinan Muhammadiyah juga berperan dalam membangkitkan semangat jihad di kalangan umat, dengan membentuk laskar-laskar yang berjuang di berbagai daerah.
KH. Hadjid di Gelaran, Kasman Singodimedjo melalui indoktrinasi pemuda Islam di berbagai kota, dan Munawir Sjadzali di utara Magelang menunjukkan kontribusi besar Muhammadiyah dalam membangkitkan perlawanan.
Selain itu, salah satu kader Muhammadiyah yang terkenal, Panglima Besar Jenderal Soedirman, memainkan peran vital dalam perang gerilya.
Kepemimpinan dan strategi perang gerilya yang ditunjukkan oleh Soedirman diakui oleh Jenderal A.H. Nasution sebagai warisan dari semangat Hizbul Wathan yang kuat dalam mempertahankan kemerdekaan.
Semangat jihad ini tidak hanya hadir dalam bentuk laskar perjuangan. Pada 28 Mei 1946, Muhammadiyah secara resmi mengeluarkan “Amanat Jihad”, seruan yang disebarluaskan melalui surat kabar Boelan Sabit pada 15 Juni 1946. (Lebih lanjut baca: Ridho Al-Hamidi, Paradigma Politik Muhammadiyah Epistemologi Berpikir dan Bertindak Kaum Reformis, 2020: 137-139).
Seruan ini menjadi panggilan kepada seluruh umat Islam, khususnya warga Muhammadiyah, untuk bersiap menghadapi ujian kemerdekaan dengan kekuatan lahir dan batin.
Dalam amanat tersebut, Muhammadiyah menekankan kewajiban berjihad di jalan Allah untuk menghadapi penjajah dengan menyerahkan segenap jiwa dan raga.
Pesan ini bukan hanya tentang perlawanan fisik, tetapi juga ajakan untuk bertawakkal kepada Allah dan menjaga keteguhan iman, dengan keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah bagian dari ketentuan-Nya .
Muhammadiyah, meskipun dikenal sebagai gerakan pembaruan Islam yang fokus pada bidang pendidikan, sosial, dan keagamaan, dalam konteks perjuangan kemerdekaan telah menunjukkan komitmen besar untuk membela tanah air.
“Amanat Jihad” Muhammadiyah di tahun 1946 menggambarkan sikap Muhammadiyah dalam memperjuangkan cita-cita kemerdekaan, sejalan dengan nilai-nilai Islam dan semangat keindonesiaan.
Sejak awal proklamasi kemerdekaan, Muhammadiyah dengan tegas mengakui eksistensi negara Indonesia dan bertekad untuk berkontribusi dalam memajukan negeri yang berdaulat ini.
Peranan Muhammadiyah dalam perjuangan kemerdekaan ini harusnya diakui sejajar dengan peran-peran jihad lainnya, seperti Resolusi Jihad KH. Hasyim Asy’ari yang diinisiasi oleh Nahdlatul Ulama.
Sebagaimana “Resolusi Jihad” menginspirasi perjuangan rakyat di Surabaya, “Amanat Jihad” Muhammadiyah juga menyulut semangat perjuangan di berbagai wilayah yang ditopang oleh kekuatan internal Muhammadiyah melalui jaringan laskar dan kader-kader militannya.
Ini menunjukkan bahwa peringatan Hari Santri bukan hanya soal siapa yang paling berjasa, melainkan pengakuan kolektif terhadap perjuangan umat Islam yang bersatu padu mempertahankan tanah air dari segala ancaman.
Bagi Muhammadiyah, “Amanat Jihad” ini juga menyisakan tantangan tersendiri untuk tetap memelihara semangat kemerdekaan dengan mengisi kemerdekaan tersebut secara nyata. Semangat jihad pada masa lalu telah mengajarkan pentingnya kesatuan, kekuatan, dan kemandirian umat dalam menghadapi segala macam tantangan.
Hari Santri selayaknya dijadikan momentum untuk mengingatkan kembali masyarakat tentang nilai-nilai jihad yang telah dirintis oleh pendahulu kita, termasuk peran Muhammadiyah, dalam menjaga kedaulatan Indonesia hingga hari ini.
Peran Mohammad Natsir
Menarik untuk ditambahkan dalam artikel ini, sebuah data yang menggambarkan betapa “Resolusi Jihad” 22 Oktober yang jadi cikal bakal Hari Santri itu juga ada peran tokoh lain.
Berdasarkan catatan dari Abdullah Hehamahua dalam buku “Cinderamata Perjuangan Mengenal Tokoh-Tokoh Masyumi” (2023: 54-55), Mohammad Natsir turut memiliki peran penting dalam tercetusnya Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945.
Peristiwa ini bukan hanya melibatkan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama (NU), tetapi juga tokoh-tokoh Muslim dari berbagai latar belakang yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, seperti Natsir yang berasal dari Masyumi.
Dalam tulisan Hehamahua, Mohammad Natsir sebagai seorang tokoh berpandangan jauh ke depan menyadari betapa besar ancaman yang dihadapi bangsa Indonesia setelah kemerdekaan.
Ketika itu, pasukan Sekutu yang dilengkapi persenjataan modern kembali datang bersama NICA untuk menguasai Indonesia.
Untuk menghadapi ancaman ini, Mohammad Natsir berkeyakinan bahwa dibutuhkan sebuah fatwa jihad yang dikeluarkan oleh ulama karismatik guna membangkitkan semangat rakyat.
Mohammad Natsir kemudian menyampaikan gagasan ini kepada Ruslan Abdul Ghani, yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Kementerian Penerangan dan memiliki kedekatan dengan KH Hasyim Asy’ari, tokoh sentral NU dan ulama kharismatik di Jawa Timur.
Menindaklanjuti saran Mohammad Natsir, Ruslan Abdul Ghani kemudian menghadap KH Hasyim Asy’ari, memohon beliau mengeluarkan fatwa yang dapat menggerakkan rakyat melawan invasi Sekutu dan NICA.
Hasilnya, pada 22 Oktober 1945, KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan “Resolusi Jihad” yang menyerukan umat Islam untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan, termasuk dengan nyawa sekalipun jika diperlukan.
Fatwa ini segera membakar semangat rakyat, terutama di Jawa Timur, hingga terjadi pertempuran hebat di Surabaya yang berpuncak pada tanggal 10 November 1945, peristiwa yang kini dikenang sebagai Hari Pahlawan.
Cerita ini, sebagaimana dikisahkan oleh Ruslan Abdul Ghani dalam pertemuan dengan masyarakat Jawa Timur, menegaskan bahwa Mohammad Natsir juga berperan dalam memantik keluarnya Resolusi Jihad.
Ini menunjukkan bahwa Hari Santri Nasional yang diperingati setiap 22 Oktober bukanlah hanya hasil inisiatif NU, tetapi juga buah dari sinergi lintas tokoh bangsa yang memiliki cita-cita bersama, yaitu mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negara.
Semua data itu menunjukkan bahwa Hari Santri tidak sekadar penghormatan kepada para santri dan ulama, namun menjadi pengingat akan kontribusi bersama dari berbagai elemen masyarakat yang bergabung melawan penjajah.
Termasuk dengan Muhammadiyah dengan “Amanat Jihad”-nya, demikian juga Mohammad Natsir dengan usulan cemerlangnya, serta peran dari tokoh-tokoh lain yang tidak terdokumentasikan dalam sejarah perjuangan masa revolusi.*/Mahmud Budi Setiawan
Sumber Klik disini