fbpx
Sabtu, 2 November 2024

Tanggapan Ketua MUI atas Berita Khatib dan Imam Idhul Adha Wanita untuk Jamaah Khusus Perempuan

Share

JAKARTA (Arrahmah.id) – Ketua MUI Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh, menanggapi adanya flyer rencana shalat Idul Adha yang akan diselenggarakan di tempat khusus perempuan, dengan jamaah khusus perempuan, Imam, Bilal, dan Khatibah perempuan.

Berikut ini catatan lengkap Kiai Niam terhadap masalah tersebut:

  1. Shalat Idul Adha merupakan jenis ibadah mahdlah, hukumnya sunnah muakkadah, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Bahkan bagi yg sedang haid pun dianjurkan untuk hadir guna mensyiarkan idul Adha, meski tdak ikut shalat.
  2. Pelaksanaan shalat Idul Adha dapat dilaksanakan dengan cara berjamaah atau dengan cara infirad (sendirian tanpa berjamaah).

  3. Dalam kondisi shalat id dilaksanakan berjamaah, berlaku ketentuan syarat rukun shalat berjamaah.

a. Pelaksanaan shalat jamaah yang makmumnya terdiri dari muslim laki-laki atau laki-laki dan perempuan, maka imamnya harus laki-laki. Shalat Laki-laki tidak sah jika makmum pada Imam shalat perempuan, meskipun perempuannya lebih fasih.

b. Pelaksanaan shalat jamaah yang makmumnya hanya terdiri dari jamaah perempuan, maka imamnya boleh perempuan.

  1. Khutbah ‘Id nya hukumnya sunnah, yang terpisah dari pelaksanaan shalat ‘id. Karenanya, keberadaan khutbah ‘id tidak terkait dengan keabsahan shalat ‘id. berbeda halnya dengan Khutbah Jumat yang menjadi rangkaian tak terpisahkan dengan Shalat Jumat, dan mempengaruhi keabsahan. Khutbah Jumat manjadi syarat sahnya pelaksanaan Shalat Jumat. Shalat Jumat tanpa Khutbah Jumat, atau dengan khutbah yang tidak memenuhi syarat rukunnya, hukumnya tidak sah. Dan salah satu syarat khutbah Jumat adalah dilakukan oleh khatib laki-laki.
  2. Apabila shalat idul adha dilaksanakan tanpa khutbah, shalatnya sah.

  3. Khutbah dalam rangkaian ibadah shalat, baik Jumat maupun ‘Id, meski hukumnya berbeda, memiliki kedudukan yang sama, yaitu merupakan jenis ibadah mahdlah dan terikat oleh syarat dan rukun yang ditentukan, bukan sekedar ceramah biasa.

  4. ⁠Pertanyaan yang menjadi Isykal, apakah salah satu syarat khatib harus laki-laki, sehingga sekalipun ketika shalat berjamaah khusus perempuan dengan imam perempuan, khatib harus tetap laki-laki? Kami berpandangan, bahwa mengingat bahwa khutbah merupakan jenis ibadah, maka perlu mengikatkan diri pada ketentuan yang bersifat rinci.

Mengingat sifat-sifat yang sama dengan Khutbah Jumat dan shalat lain yang disyaratkan adanya khutbah, dan untuk kepentingan kehati-hatian, maka khatib dalam khutbah yang merupakan jenis ibadah, harus laki-laki. Sementara, jika diselenggarakan shalat id berjamaah khusus perempuan, maka dapat dilakukan dengan beberapa alternatif:

a. Khutbah dilakukan oleh Khatib laki-laki.

b. Jika tidak ada khatib laki-laki, maka shalatnya tetap sah dengan imam perempuan meski tanpa dilaksanakan khutbah.

c. Jika ada perempuan yang memiliki kemampuan menyampaikan pesan-pesan ketakwaan dan hikmah ‘Id, maka perempuan boleh menyampaikan mauizhah hasanah kepada jamaah, bukan dalam bentuk khutbah.

  1. Dalam kitab Raudlatu al-Thalibin dijelaskan —dalam kasus shalat gerhana— apabila jamaah khusus perempuan, dibolehkan, tetapi mereka tidak berkhutbah. Bila salah satu perempuan jadi penceramah memberi nasehat keagamaan, dibolehkan, sebagai mauizhah hasanah yang bersifat umum, bukan khutbah yang merupakan jenis ibadah mahdlah.
  2. Ketentuan mengenai kesunnahan perempuan untuk hadir di shalat ‘Id, disamping disebutkan dalam hadis Nabi, juga diterangkan oleh Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab juz 5halaman 9 sebagai berikut:

أما الاحكام فقال الشافعي والاصحاب رحمهم الله يستحب للنساء غير ذوات الهيئات حضور صلاة العيد وأما ذوات الهيئات وهن اللواتي يشتهين لجمالهن فيكره حضورهن هذا هو المذهب والمنصوص وبه قطع الجمهور وحكي الرافعي وجها انه لا يستحب لهن الخروج بحال والصواب الاول وإذا خرجن استحب خروجهن في ثياب بذلة ولا يلبسن ما يشهرهن ويستحب أن يتنظفن بالماء ويكره لهن التطيب لما ذكرناه في باب صلاة الجماعة هذا كله حكم العجائز اللواتى لا يشتهين ونحوهن فاما الشابة وذات الجمال ومن تشتهي فيكره لهن الحضور لما في ذلك من خوف الفتنة عليهن وبهن

  1. Sementara, terkait dengan tuntunan untuk, Imam an-Nawawi dalam Raudlatut Thalibin wa ‘Udat al-Muftiin, juz 2 halaman 89 menulis pandangan Imam Syafii sebagai berikut:

 للنساء غير ذوات الهيئات حضور صلاة العيد وأما ذوات الهيئات وهن اللواتي يشتهين لجمالهن فيكره حضورهن هذا هو المذهب والمنصوص وبه قطع الجمهور وحكي الرافعي وجها انه لا يستحب لهن الخروج بحال والصواب الاول وإذا خرجن استحب خروجهن في ثياب بذلة ولا يلبسن ما يشهرهن ويستحب أن يتنظفن بالماء ويكره لهن التطيب لما ذكرناه في باب صلاة الجماعة هذا كله حكم العجائز اللواتى لا يشتهين ونحوهن فاما الشابة وذات الجمال ومن تشتهي فيكره لهن الحضور لما في ذلك من خوف الفتنة عليهن وبهن

  1. Sementara, terkait dengan tuntunan untuk, Imam an-Nawawi dalam Raudlatut Thalibin wa ‘Udat al-Muftiin, juz 2 halaman 89 menulis pandangan Imam Syafii sebagai berikut:

قال الشافعي والأصحاب : يستحب للنساء غير ذوات الهيئات صلاة الكسوف مع الإمام ، وأما ذوات الهيئات ، فيصلين في البيوت منفردات . قال الشافعي : فإن اجتمعن ، فلا بأس ، إلا أنهن لا يخطبن ، فإن قامت واحدة وعظتهن وذكرتهن ، فلا بأس . – والله أعلم – .

  1. Demikian juga dijelaskan dalam kitab al-Bayan fi Madzhab al-Imam al-Syafii, karya Imam al-Umrani, juz 2 halaman 663 diterangkan penjelasan tambahan bahwa khutbah itu untuk laki-laki:

قال الشافعي: (فإن جمعن … فلا بأس، إلا أنهن لا يخطبن؛ لأن الخطبة من سنة الرجال، فإن قامت واحدة منهن، ووعظتهن، وذكرتهن، كان حسنًا) .

Wallahu A’lam bi al-Shawab

(aameera/arrahmah.id)

Sumber Klik disini

Tinggalkan Balasan

Table of contents

Read more

Berita lainnya